Segar banget

Segar banget
bangett

Selasa, 14 Juni 2011

BERKAT BERKELIMPAHAN



Kita sering mengatakan bentuklah aku Tuhan bagai emas murni tetapi ketika waktunya untuk proses pembentukan itu tiba kita sering mengeluh dan menolak untuk melalui proses itu. Kita hanya mau menjadi emas murni tetapi tidak mau menerima proses itu.

Aku mau KAU menerima berkat berkelimpahan ya Tuhan tetapi aku tidak mau melalui proses yang Tuhan tetapkan untuk menilai apakah aku layak menerima berkat berkelimpahan itu. Hati yang seperti ini sering terjadi dalam hidup kita.

Saat ini aku merasakan Tuhan sedang memproses aku untuk meilihat apakah aku layak untuk di tinggikan-NYA atau tidak, apakah aku layak untuk menerima berkat berkelimpahan itu dan menang dalam tiap proses. Karena proses ini akan membuat aku sadar bahwa semua yang baik yang terjadi dalam hidupku hanyalah atas kemurahan Tuhan. Aku merasakan kebaikan Tuhan dan berkat yang berkelimpahan dalam hidupku. Aku bahkan terkagum-kagum melihat semua kebaikan Tuhan atas hidupku. Namun saat ini aku mengalami banyak hal sulit dalam hidupku, tekanan, masalah dan air mata. Aku mereview semua yang terjadi dan menyadari kalau saat ini aku melalui waktu-Nya Tuhan membentuk aku untuk menjadi pribadi yang berkenan di hadapan Tuhan, menerima berkat yang berkelimpahan sehingga menjadi saluran berkat bagi orang lain.

Aku menyadari proses itu tidak mudah namun aku percaya Tuhan sangat mengetahui porsi yang tepat buat aku. Proses pembentukan ini bagaikan seorang pernjual martabak telur yang mengolah bahan-bahan mentah sampai menjadi martabak telur yang siap disajikan. Aku bisa membayangkan ketika seorang penjual martabak telur menyatukan semua bahan-bahan kemudian membanting adonan tepung berkali-kali dan kemudian memanggangnya dan siap disajikan. Aku menyadari proses pembentukan martabak telur ini tidak mudah. Kita tidak pernah tahu seberapa banyak bantingan adonan tepung yang diperlukan oleh sipenjual martabak telur sampai bisa masuk dalam proses selanjutnya. Kita juga tidak pernah tahu seberapa besar api yang diperlukan untuk memanggang adonan. Semua tergantung sipenjual martabak telur. Tiap adonan memiliki catatan masing-masing. Jika adonan hangus maka penjual martabak telur membuangnya ke tong sampah tetapi jika tidak maka siap untuk dihidangkan dan menajadi berkat bagi orang yang memesannya.

Aku menyadari saat ini Tuhan sedang mengadon berkat-berkat yang aku peroleh dari Tuhan dengan adonan lainnya. Aku tahu Tuhan akan melakukan proses itu dan melihat apakah aku menang atas proses itu sehingga bukan tong sampah yang menjadi tempatku melainkkan menjadi berkat bagi banyak orang dan mengenyangkan banyak jiwa. Aku tahu proses itu tidak mudah tetapi aku sangat percaya Tuhan mengerahui kekuatanku sebagai bahan adonannya. Aku sangat percaya Tuhan mengetahui berapa banyak bantingan dan kerasnya api untuk menjadikan aku sebuah pribadi yang dipercaya dan menjadi saluran berkat bagi orang lain. Aku mau Tuhan melalui proses itu karena aku mau ENGKAU berkati berkelimpahan dan menjadi saluran berkat bagi orang lain. ………” TETAPI AKU TETAP DI DEKAT-MU YA TUHAN, ENGKAU MEMEGANG TANGANKU DENGAN NASIHAT-MU. ENGKAU MENUNTUN AKU DAN KEMUDIAN ENGKAU MENGANGKAT AKU KE DALAM KEMULIAANMU. SEKALIPUN DAGINGKU DAN HATIKU HABIS LENYAP, GUNUNG BATUKU DAN BAGIANKU TETAP ALLAH SELAMANYA

--

Makna Berkat Berkelimpahan


1 Raja-raja 17 : 16...tepung dalam tempayan itu tidak habis dan minyak dalam buli-buli tidak berkurang seperti firman Tuhan yang diucapkan dengan perantaraan Elia.
Apa makna dari berkat berkelimpahan? Apakah punya 2 mobil, artinya sudah berkelimpahan, atau punya 2 rumah sudah bisa dikatakan berkelimpahan? Tapi sifat manusia merasa tidak pernah cukup, sehingga mereka tidak menikmati berkat kelimpahan.
Mari kita lihat kisah janda di Sarfat ini, maka kita akan mengerti arti dari berkat kelimpahan dan menikmatinya.
1.Seperti satu gelas kosong yang dituangi air sampai penuh, bahkan mengalir keluar sehingga membasahi sekitarnya.Demikian berkat berkelimpahan dapat dibagi dan dirasakan orang lain. Janda dari Sarfat ini sangat miskin, meskipun begitu Nabi Elia dapat merasakan berkat darinya.
2.Berkelimpahan apabila ditempat lain sudah tidak ada, namun ditempatnya masih ada.Seperti janda di Sarfat, semua orang mengalami masa paceklik, namun dia tetap mempunyai persediaan dirumahnya.
Dua rahasia agar kita bisa mendapatkan berkat berkelimpahan.Pertama mendahuluhan Tuhan ( Mat 6:33 ), Kedua berbagi dengan orang lain ( Yoh 6 : 8 – 14 )
Apapun keadaan kita pada saat ini, asal kita berjalan sesuai dengan firmanNya, maka kehidupan kita pasti diberkati.

--

BERKAT BERKELIMPAHAN
Monday, 13 June 2005
?Lalu Ia berkata lagi, camkanlah apa yang kamu dengar! Ukuran yang kamu pakai untuk mengukur akan diukurkan kepadamu.? (Markus 4:24)
Berapa banyak berkat yang akan Anda terima dari Firman Allah?

BACAAN FIRMAN TUHAN : Lukas 8:1-18
Itu tergantung pada berapa banyak yang Anda harapkan. Ketika Allah mengulurkan berkat itu bagi Anda, Ia menggunakan alat pengukur yang Anda miliki, bukan alat pengukurNya. Ia selalu bekerja dengan cara seperti itu.
Dua orang dapat mendengar Firman Tuhan mengenai kesembuhan, misalnya. Yang seorang mengukurnya dengan iman. Ia akan berkata, ?Puji Tuhan, dengan bilur-bilurNya saya sudah sembuh! Saya percaya dengan segenap hati saya, dan saya akan terus percaya samapai saya menerima kesembuhan itu.?
Orang yang lain mengukurnya denan keraguan. Ia berkata, ?Saya tidak peduli dengan ayat-ayat Alkitab yang dikatakannnya. Saya tidak mempercayai pengkhotbah ini. Saya akan mencoba cara kesembuhan seperti ini, tetapi saya tidak yakin sama sekali bahwa sesuatu bisa terjadi.? Kedua orang itu akan mendapatkan sesuai apa yang mereka harapkan. Allah akan mengukurkan kepada mereka dengan ukuran persis seperti yang mereka ukurkan terhadap Firman Allah. Yang seorang akan disembuhkan? dan yang lain tidak.
Saya harus mengingatkan Anda bahwa kadangkala, mengukur Firman Tuhan dengan iman bukanlah hal yang mudah. Beberapa tahun yang lalu, ketika Gloria pertama kali membaca ayat ?Janganlah berutang apapun kepada siapapun,? hal itu menjadi seperti kutukan baginya dan bukan berkat. Pada saat itu kami tinggal disebuah rumah yang kecil, dan ia sangat ingin memiliki sebuah rumah baru.
Tetapi bagaimana kami dapat memiliki rumah yang kami dambakan tanpa berutang? Tampaknya seperti sesuatu hal yang mustahil. Oleh sebab itu, bagi Gloria, ayat itu seperinya berbunyi, ?Gloria, engkau tidak dapat memiliki rumah baru.? Tetapi ia menolak untuk mengukurnya dengan cara seperti itu. Ia menangkap iblis dengan mengatakan, lihatlah kesini iblis, engkau tidak dapat menipu saya mengenai rumah baru itu.? Kemudian ia mulai mempercayai bahwa entah bagaimana Allah dapat menyediakan rumah itu baginya tanpa berutang. Dan benar saja, Allah melakukannya.
Jika Anda ingin menerima berkat berkelimpahan, mulailah dengan datang kepada Firman Tuhan dengan keranjang yang besar. Letakkan ukuran iman yang besar di tangan Allah. Ia akan mengisinya sampai luber dan akan segera mengembalikannya kepada Anda.
'
-

MENGETAHUI KEHENDAK ALLAH
Tuesday, 14 June 2005
?Jikalau bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya.? (Markus 127:1)
Saat ini kita hidup di suatu masa di mana terjadi perubahan dan keputusan-keputusan besar. Jika pernah ada suatu hari di mana Anda dan saya harus mengetahui kehendak dan tujuan Allah bagi hidup kita adalah saat ini.

BACAAN FIRMAN TUHAN : Kolose 1:9-22
Allah sedang mengubah dan menata ulang segala sesuatu, merapikan semuanya untuk gerakan akhir dari roh kudus. Jika Anda ingin menyelesaikannya, Anda harus mengetahui rencana Allah yang sempurna di dalam hidup Anda ? dan bagaimana untuk melaksanakannya di dalam kuasaNya!
Bagaimana Anda melakukannya? Melalui doa. Allah telah menyediakan bagi kita sebuah doa di dalam FirmanNya yang dapat kita gunakan untuk menerima hikmat dan pengertian yang kita butuhkan di masa kritis di mana kita hidup sekarang ini. Anda akan menemukannya di dalam Kolose 1:9-11. ?Sebab itu sejak waktu kami mendengarnya, kami tiada henti-henti berdoa untuk kamu. Kami meminta supaya kamu menerima segala hikmat dan pengertian yang benar, untuk mengetahui kehendak Tuhan dengan sempurna, sehingga hidupmu layak dihadapanNya serta berkenan kepadaNya dalam segala hal, dan kamu memberi buah di dalam segala pekerjaan yang baik dan bertumbuh dalam pengetahuan yang benar tentang Allah, dan dikuatkan dengan segala kekuatan oleh kuasa kemulianNya untuk menanggung segala sesuatu dengan tekun dan sabar.?
Beberapa bulan terakhir ini, Allah telah memerintahkan Gloria dan saya untuk mengucapkan doa di atas bagi rekan sepelayanan kami dan untuk kami sendiri tiap-tiap hari. Itu adalah doa yang berkuasa, yang diilhamkan oleh roh kudus, yang tidak hanya memampukan Anda untuk mengetahui apa kehendak Allah, tetapi juga untuk memiliki hikmat dan pengertian untuk melaksanakan kehendak Allah itu.
Di sinilah letak kegagalan paling besar yang dialami dari usaha orang-orang Kristen. Kita mengetahui sekilas tentang kehendak Allah di dalam hidup kita melalui Roh Kudus, tetapi kemudian kita mengacaukan segalanya dengan berusaha melaksanakannya dengan cara-cara kedagingan. Bukannya membiarkan Allah membangun rumah di dalam kuasaNya, kita berusaha membangunnya sendiri dan berakhir dengan kesia-siaan.
Pada hari-hari yang akan datang, janganlah membuat kesalahan seperti itu. Ucapkanlah doa yang telah Allah berikan kepada kita itu. Doa itu ditulis di dalam perjanjian baru bagi Anda. Letakkanlah nama Anda disitu. Itu adalah doa yang Anda dapat yakini akan dijawab oleh Allah. Praktekkan doa itu di dalam kehidupan Anda tiap-tiap hari, dan Allah akan mengisi Anda dengan pengetahuan dan pengertianNya.

--

MENYERAHKAN KEKUATIRAN KEPADA ALLAH
Wednesday, 15 June 2005
?Karena itu rendahkanlah dirimu di bawah tangan Tuhan yang kuat, supaya kamu ditinggikanNya pada waktunya. Serahkanlah segala kekuatiranmu kepadaNya, sebab Ia yang memelihara kamu.? (1 Petrus 5:6-7)



BACAAN FIRMAN TUHAN : Mazmur 55:16-22
Ketika saya pertama kali belajar untuk menyerahkan kekuatiran saya kepada Tuhan, saya sedang berada di Texas Selatan untuk berdoa di sebuah kebaktian di mana tidak ada seorang pun yang datang. Orang-orang yang tidak hadir di dalam kebaktian itu mencapai ribuan. Dan setelah satu atau dua kali kebaktian dengan hanya dihadiri oleh seorang pengkhotbah, satu atau dua orang lainnya dan saya, saya mulai berkeringat. Tetapi Tuhan berkata, ?Serahkanlah kekuatiranmu kepadaKu,? maka saya melakukannya.
Saya mulai berkeliling sambil tersenyum dan bersiul. Saya katakan kepada iblis, ?Saya tidak akan merengut atau membiarkan ada kekuatiran di dalam pikiran saya. Saya datang kesini untuk berkhotbah dan itulah yang akan saya lakukan, dan adalah urusanTuhan apakah ada yang hadir atau tidak. Saya tidak akan kuatir!?
Saya berkeliling dengan gembira hingga saya betul-betul seperti orang bodoh. Iblis berkata, ?Apakah yang terjadi dengan engkau? Tidakkah engkau memiliki sedikit kepekaan untuk merasa kuatir mengenai keadaan ini?? saya duga orang lain berkata, ?Saya kira ia merasa terlalu bodoh untuk merasa kuatir. Saya pikir hal itu karena ia tidak pernah masuk seminari.?
Tetapi saya katakan kepada Tuhan, ?Saya telah menyerahkan kekuatiran saya kepadaMu, dan jika tidak ada seorangpun yang hadir kecuali wanita tua itu, ia akan menjadi orang yang paling beruntung di Texas karena saya akan berkhotbah sama seperti saya berkhotbah kepada sekumpulan besar orang.
Saya tidak menyadari apa yang terjadi kemudian, tetapi perasaan bebas dari rasa kuatir membawa saya ke posisi yang tidak mau berkompromi dengan iblis. Ia tidak dapat mengganggu saya lagi. Ia tidak dapat lagi menakut-nakuti saya dengan ketakutan dan ketidakpercayaan. Ia tidak dapat menekan saya dan membuat saya berkompromi karena saya tidak kuatir. Saya telah menyerahkan segala kekuatiran saya kepada Allah.
Apakah Anda siap untuk bebas dari kekuatiran? Jika Anda siap, ucapkanlah pengakuan iman di bawah ini:
Saya adalah seorang percaya. Saya bukanlah orang yang bimbang. Firman Tuhan bekerja di dalam hidup saya; dan saat ini, saya merendahkan diri saya di bawah tangan Allah yang kuat. Saya menyerahkan segala kekuatiran saya kepadaNya. Mulai saat ini dan seterusnya, saya menolak untuk kuatir. Sebaliknya saya akan berdoa. Saya akan menggunakan iman saya dan percaya, karena Ia akan meninggikan saya di atas segala masalah dan di atas si iblis. Karena saya adalah milik Yesus dan Ia memperdulikan saya

--

Wilderness Experiences


“Then Jesus was led up by the Spirit into the wilderness to be tempted by the devil.” Matthew 4:1 ESV

Is it just me, or does it seem like Americans have become increasingly fascinated with things like mountain climbing, white-water rafting, rappelling, and other treacherous activities? Anyone with a desire to explore the rugged realities of nature can sign up for “adventure vacations” or attend camps that offer skills courses to help them successfully navigate through rough terrain and experience the thrill of conquering their challenges.

But as adventuresome as the wilderness may seem, it’s a dangerous place. Which makes me think of the time that Jesus went into the wilderness to go head to head with Satan. The wilderness experience for Jesus, as we learn in Matthew 4, was no cakewalk. The same tempter who had entered God’s garden—and with one decisive blow replaced the joy of Eden with the barrenness of disappointment and shame—now welcomed Jesus to his barren turf.

And don’t miss the timing. Right after the magnificent moment of Jesus’ baptism, the Spirit intentionally led Jesus into the wilderness to be confronted with Satan’s tempting suggestions. Why? To show us that Jesus knows how to win in the wilderness and that He can lead us through the wilderness successfully as well.

The key to survival? The Word of God, as Jesus so masterfully demonstrated in His wilderness experience. With every temptation, Jesus “threw the Book” at Satan. In the midst of your wilderness, pointed passages of Scripture are the KO punch that you need. The truth of God’s Word in Satan’s face protects us from the lies that are crafted to destroy us—every time!

So, let Jesus be your wilderness guide. Not only has He been through it, but in another barren place outside the walls of Jerusalem He died to grace us with His salvation so that we would be assured that one day He would be able to lead us from the wilderness of this world back to Eden again—forever!

Lord Jesus, You know exactly what it feels like to be in the wilderness, tempted and challenged by Satan. I come to You as my great High Priest, the One who can sympathize with my weakness, trusting that You can help me in my times of need. Please equip me to use Your Word as my sword and strengthen my feeble heart. I will trust You and give You all of the glory, in Your name. Amen.
“Then Jesus was led up by the Spirit into the wilderness to be tempted by the devil.” Matthew 4:1 ESV

Is it just me, or does it seem like Americans have become increasingly fascinated with things like mountain climbing, white-water rafting, rappelling, and other treacherous activities? Anyone with a desire to explore the rugged realities of nature can sign up for “adventure vacations” or attend camps that offer skills courses to help them successfully navigate through rough terrain and experience the thrill of conquering their challenges.

But as adventuresome as the wilderness may seem, it’s a dangerous place. Which makes me think of the time that Jesus went into the wilderness to go head to head with Satan. The wilderness experience for Jesus, as we learn in Matthew 4, was no cakewalk. The same tempter who had entered God’s garden—and with one decisive blow replaced the joy of Eden with the barrenness of disappointment and shame—now welcomed Jesus to his barren turf.

And don’t miss the timing. Right after the magnificent moment of Jesus’ baptism, the Spirit intentionally led Jesus into the wilderness to be confronted with Satan’s tempting suggestions. Why? To show us that Jesus knows how to win in the wilderness and that He can lead us through the wilderness successfully as well.

The key to survival? The Word of God, as Jesus so masterfully demonstrated in His wilderness experience. With every temptation, Jesus “threw the Book” at Satan. In the midst of your wilderness, pointed passages of Scripture are the KO punch that you need. The truth of God’s Word in Satan’s face protects us from the lies that are crafted to destroy us—every time!

So, let Jesus be your wilderness guide. Not only has He been through it, but in another barren place outside the walls of Jerusalem He died to grace us with His salvation so that we would be assured that one day He would be able to lead us from the wilderness of this world back to Eden again—forever!

Lord Jesus, You know exactly what it feels like to be in the wilderness, tempted and challenged by Satan. I come to You as my great High Priest, the One who can sympathize with my weakness, trusting that You can help me in my times of need. Please equip me to use Your Word as my sword and strengthen my feeble heart. I will trust You and give You all of the glory, in Your name. Amen.

--

Watch What You Lean On

Trust in the LORD with all your heart and lean not on your own understanding; in all your ways acknowledge him, and he will make your paths straight. Proverbs 3:5-6

During a ministry trip to the islands of the Caribbean, I happened to sit next to an unfamiliar attorney on a charter boat excursion. As we chatted, we discovered that we attended the same high school in New Jersey at the same time, with many old-time friends in common. I had told him that my name was Stowell. In the course of our unbelievable “we-have-so-much-in-common” conversation, he said to me, “Did you say your name was Stillwell?” I repeated my name, and he said, “Oh, because I have a client whose name is Stillwell.” I asked, “It wouldn’t be Art Stillwell would it?” He told me that it was.

It turns out that this man’s client was a man I grew up with in church. My dad was his pastor. Art Stillwell owned several major car dealerships in New Jersey, and this attorney represented him. That was the topper for so much in common, but for as long as I live I’ll never forget what he said next.

Reflectively, he told me, “I have no other client like Art Stillwell.” When I asked why, he went on to say, “When my other clients get in a jam, they ask me to do whatever it takes to get them out of their bind—regardless of what it takes. But not Art. Whenever I ask him that same question, he replies, ‘Just do what’s right.’ ”

That’s exactly what God meant when he told us: “Lean not on your own understanding.” It means don’t trust yourself. Don’t even trust your instinct. You might have an MBA or be the top performer in your field, or you might feel like you got a really bad deal. But unless you’ve actually taken the time to shut down your agenda and go with God’s, you’re on shaky ground. If you’re thinking of making a tough call or big-time decision without finding out “what is right” from God’s point of view, what you’re leaning on might just give way and send you tumbling.

Don’t go there. Watch what you lean on.

When you’re deciding how to respond to your supervisor’s latest directive or your financial advisor’s hottest tip or your boyfriend’s passionate invitation—do what’s right by doing what God says. Every time. Not only will it get you on track but someone might just notice how wonderfully different you are!

Trust in the LORD with all your heart and lean not on your own understanding; in all your ways acknowledge him, and he will make your paths straight. Proverbs 3:5-6

During a ministry trip to the islands of the Caribbean, I happened to sit next to an unfamiliar attorney on a charter boat excursion. As we chatted, we discovered that we attended the same high school in New Jersey at the same time, with many old-time friends in common. I had told him that my name was Stowell. In the course of our unbelievable “we-have-so-much-in-common” conversation, he said to me, “Did you say your name was Stillwell?” I repeated my name, and he said, “Oh, because I have a client whose name is Stillwell.” I asked, “It wouldn’t be Art Stillwell would it?” He told me that it was.

It turns out that this man’s client was a man I grew up with in church. My dad was his pastor. Art Stillwell owned several major car dealerships in New Jersey, and this attorney represented him. That was the topper for so much in common, but for as long as I live I’ll never forget what he said next.

Reflectively, he told me, “I have no other client like Art Stillwell.” When I asked why, he went on to say, “When my other clients get in a jam, they ask me to do whatever it takes to get them out of their bind—regardless of what it takes. But not Art. Whenever I ask him that same question, he replies, ‘Just do what’s right.’ ”

That’s exactly what God meant when he told us: “Lean not on your own understanding.” It means don’t trust yourself. Don’t even trust your instinct. You might have an MBA or be the top performer in your field, or you might feel like you got a really bad deal. But unless you’ve actually taken the time to shut down your agenda and go with God’s, you’re on shaky ground. If you’re thinking of making a tough call or big-time decision without finding out “what is right” from God’s point of view, what you’re leaning on might just give way and send you tumbling.

Don’t go there. Watch what you lean on.

When you’re deciding how to respond to your supervisor’s latest directive or your financial advisor’s hottest tip or your boyfriend’s passionate invitation—do what’s right by doing what God says. Every time. Not only will it get you on track but someone might just notice how wonderfully different you are!

Trust in the LORD with all your heart and lean not on your own understanding; in all your ways acknowledge him, and he will make your paths straight. Proverbs 3:5-6

During a ministry trip to the islands of the Caribbean, I happened to sit next to an unfamiliar attorney on a charter boat excursion. As we chatted, we discovered that we attended the same high school in New Jersey at the same time, with many old-time friends in common. I had told him that my name was Stowell. In the course of our unbelievable “we-have-so-much-in-common” conversation, he said to me, “Did you say your name was Stillwell?” I repeated my name, and he said, “Oh, because I have a client whose name is Stillwell.” I asked, “It wouldn’t be Art Stillwell would it?” He told me that it was.

It turns out that this man’s client was a man I grew up with in church. My dad was his pastor. Art Stillwell owned several major car dealerships in New Jersey, and this attorney represented him. That was the topper for so much in common, but for as long as I live I’ll never forget what he said next.

Reflectively, he told me, “I have no other client like Art Stillwell.” When I asked why, he went on to say, “When my other clients get in a jam, they ask me to do whatever it takes to get them out of their bind—regardless of what it takes. But not Art. Whenever I ask him that same question, he replies, ‘Just do what’s right.’ ”

That’s exactly what God meant when he told us: “Lean not on your own understanding.” It means don’t trust yourself. Don’t even trust your instinct. You might have an MBA or be the top performer in your field, or you might feel like you got a really bad deal. But unless you’ve actually taken the time to shut down your agenda and go with God’s, you’re on shaky ground. If you’re thinking of making a tough call or big-time decision without finding out “what is right” from God’s point of view, what you’re leaning on might just give way and send you tumbling.

Don’t go there. Watch what you lean on.

When you’re deciding how to respond to your supervisor’s latest directive or your financial advisor’s hottest tip or your boyfriend’s passionate invitation—do what’s right by doing what God says. Every time. Not only will it get you on track but someone might just notice how wonderfully different you are!
-

Packed with Power



"All Scripture is God-breathed and is useful for teaching, rebuking, correcting and training in righteousness, so that the man of God may be thoroughly equipped for every good work." 2 Timothy 3:16-17

My wife, Martie, and I have some items of worth around our house that sit on mantles or behind glass doors. They are things we have collected over the years, things from special places we’ve been or from special friends we have known. Though these items may have a good deal of worth to us personally, in terms of function they’re not worth much. My guess is that you have a few of your own prized dust collectors as well.

I wonder if you, though you might never admit it, feel that way about the Bible—It’s an important book with great value but with little usefulness for the realities you face every day. After all, how could an ancient book written by religious zealots even begin to connect with the challenges of your often-too-complex life?

Here’s the good news: When it comes to your life, nothing could be more helpful!

The Word of God has tremendous worth and plays an active role in our lives to effect change. Paul explained its power to Timothy when he said that the Bible is “useful for teaching, rebuking, correcting and training in righteousness, so that the man of God may be thoroughly equipped for every good work” (2 Timothy 3:16-17).

I think of my friend who told me of a time when he was away on a business trip. As he returned to his hotel one night and stepped on the elevator, two young, attractive women joined him. As he pressed the button to get off on his floor, they said, “Hey, mister, how about a little fun tonight?”

He told me that Galatians 6:8 immediately came to mind: “The one who sows to please his sinful nature, from that nature will reap destruction; the one who sows to please the Spirit, from the Spirit will reap eternal life.” He said that verse was like a shade drawn between him and what could have been a persuasive temptation. In that moment, the correcting power of the Word of God kept him safe and on course.

Whether we realize it or not, throughout our lives we have been saturated with false values, and we need to be reprogrammed with truth. God’s ways and wisdom are without peer. His Word really is like a lamp to our feet and a light to our path (Psalm 119: 105). We need to know what to do with our time, energy, and money. We need to know what to do with our minds. We need to be taught what to do about friends and how to handle enemies. We need to be taught about family, work, and leisure. God’s Word is jam-packed with time-tested principles of success for every situation and issue of life.

More importantly, God’s Word teaches us the wonderful truth that He cared enough to die for us when we were lost in our sin. In His Word we learn about His character and how we can cultivate a trusted relationship with Him. We learn things about Him through His Word that we cannot learn anywhere else.

The Bible is “living and active” (Hebrews 4:12) and packed with power. It’s not meant to be a collector’s item on your shelf. Go ahead—dust it off and discover for yourself how God can use His Word to guide, protect, encourage, and enrich your life!

--

Buka Tutup Itu!

pengarang : Salomo Dwika Tavianto


KETIKA manusia dikeluarkan dari Taman Eden, semata-mata karena Allah tidak bisa bersatu dengan dosa. Keinginan Allah sangat jelas: manusia memiliki hidup dan hidup di dalam kelimpahan. Hal itu sangat nyata diwujudkan dalam kehadiran Yesus Kristus di dunia.

Yohanes 10:10 Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.

Tidak dipungkiri, keinginan Allah agar manusia memperoleh segala sesuatu yang baik, tidak semua manusia menikmatinya. Bukan karena kasih Allah itu semakin luntur dan pudar. Bukan pula berkat yang dipersiapkan bagi manusia itu telah menipis dan habis. Tetapi seringkali manusialah yang "berupaya menggagalkan" rencana Allah.

Contoh: Ketika menusia punya keinginan agar hidupnya semakin baik dan meningkat, maka dengan cepat dia "membatalkan" sendiri dengan berkata: "Ah tidak mungkinlah. Dari dulu aku memang hidup susah. Bahkan kakek nenekku pun juga begitu. Mana mungkin aku bisa hidup lebih baik". Bukankah hal ini upaya penggagalan dari rencana Allah?

Saat Daud datang ke medan pertempuran - ketika dia disuruh ayahnya mengirim makanan untuk kakak-kakaknya - dia tertantang dengan kesombongan Goliat. Tetapi ketika dia menyediakan diri untuk berperang dengan Goliat, apa tanggapan Saul?

1Samuel 17:33 Tetapi Saul berkata kepada Daud: "Tidak mungkin engkau dapat menghadapi orang Filistin itu untuk melawan dia, sebab engkau masih muda, sedang dia sejak dari masa mudanya telah menjadi prajurit."

Bukankah hal ini sama seperti tipu muslihat Iblis yang menggunakan mulut Saul agar Daud tidak mengalami pengalaman luar biasa bersama dengan Allah? Ada "tutup" yang berusaha mengungkung Daud.

Seandainya Daud terprovokasi ucapan Saul, mungkinkah Daud bisa menjadi raja yang besar? Kalau dalam pikirn Daud berkata demikian: "Oh iya ya. Ngapain aku ikut urusan negara. Negara biar diurusi pemerintahannya. Lebih baik aku ngurusin kambing dombaku yang dua tiga ekor aja ah!" Jika itu yang ada dalam benak Daud, mustahil Daud dipakai lebih besar lagi oleh Allah.

Suatu saat, ada seorang peneliti yang menangkapi kutu loncat dan memasukannya ke dalam sebuah stoples. Kutu loncat ini ketika berada di luar, dia mempu melompat setinggi 80 cm bahkan ada yang lebih. Ketika mereka ada di dalam stoples, mereka tidak bisa melompat dengan maksimal. Padahal mereka memiliki karunia yang maksimal.

Ketika beberapa bulan berada di dalam stoples dan kemudian dikeluarkan, apakah mungkin mereka bisa melompat tinggi-tinggi seperti sediakala? Jawabnya pasti: Tidak! Kenapa? Mereka biasa terhalang dengan tutup stoples.

Bukankah banyak Orang Kristen yang tidak mengalami kuasa Tuhan Yesus hanya karena mereka terkungkung tutup stoples? Seharusnya bisa melompat dengan maksimal, tetapu tidak mampu. Buka tutup stoples itu. Agar bisa melompat maksimal. Tuhan Yesus mengaruniakan segala sesuatu serba maksimal, agar Anda bisa melompat dengan maksimal.

--

Culture Shock


"Therefore, if anyone is in Christ, he is a new creation; the old has gone, the new has come!" 2 Corinthians 5:17

I love the scene in the movie version of C. S. Lewis’ The Lion, the Witch, and the Wardrobe, when Lucy encounters the faun, Mr. Tumnus. As Lucy extends her hand to Mr. Tumnus, he curiously asks, “What do you do with it?”

“You shake it,” Lucy replies, to which the faun exclaims, “Why?!”

In today’s global society, awkward moments like Lucy’s are not uncommon. Bumping into people whose customs, greetings, and language are unlike ours creates off-balance doses of “culture shock.” On a trip to West Africa, in spite of feeling welcomed by the warmth of the people there, my wife Martie and I became keenly aware that we were different. The differences were many. But two stand out in my memory. The accepted custom was for men to have multiple wives and to feed their wives extravagantly. The reason? If your wife was plump, you were viewed as prosperous and successful because you made enough money to provide plenty of food for your extensive family. Needless to say, our way of thinking, living, and behaving was radically different. I don’t know if we could ever have felt at home there.

Which makes me wonder: If we are “new creation” people—citizens of heaven whose patterns of thought and behavior are distinctly different—why do we feel so at home with the values and lifestyles of the fallen systems of this world? Why are we so likely to lean toward greed instead of generosity? Why does self-centeredness instead of servanthood still have its grip on our attitudes? Why does pride easily set up residence in our hearts, while Christ’s humility seems so awkward and foreign? Why do we fit in so well, when, as Paul says, our real citizenship is in heaven? (Philippians 3:20). If we are truly “new creation” people, there should be some instinctive culture shock when our hearts and minds start entertaining old creation thoughts and actions.

Being new creations in Christ means that we are different, different from the dead-ended ways of the condemned world. The thoughts and attitudes of the heavenly and earthly kingdoms are radically at odds. Paul makes the issue clear when he writes, “Do not conform any longer to the pattern of this world, but be transformed by the renewing of your mind so that you can test and approve what God’s will is—His good, pleasing, and perfect will” (Romans 12:2).

Jesus gave His life to redesign us from the inside out. When we express our newness in Him, people who intersect our lives get a refreshing glimpse of something wonderfully different, a taste of heaven on earth.

Go ahead. Surprise someone today with some heavenly culture shock

--

Three Dollars' Worth of God

“So, because you are lukewarm—neither hot nor cold—I am about to spit you out of my mouth.” Revelation 3:16

Most of us can blow through three dollars without even thinking twice. It’ll get you a cup of Starbucks, a few snacks for a road trip, or a squeak toy for your new puppy. But one thing is for sure: it won’t buy you soul-to-soul intimacy with the Creator of the universe.

Someone once wrote: “I’d like to buy three dollars’ worth of God. Please, not enough to explode my soul or disturb my sleep, but just enough to equal a cup of warm milk or a snooze in the sunshine. I want ecstasy, not transformation. I want the warmth of the womb, not a rebirth. I want a pound of the eternal in a paper sack. I’d like to buy about three dollars’ worth of God, please.”

I wonder if you are among those who want just enough of God to get yourself to a comfortable place, but not enough to pay the price of a deepening relationship with Him. If we want to be in tight with Jesus, we’ve got to abandon the idea that a mere acquaintance with Him is enough and that we have all we really need in and of ourselves. Self-sufficiency is life’s greatest barricade when it comes to intimacy with God.

I find it interesting that all the “self” terms we throw around make us wither with guilt. Just say the word self-centered and we wince. The same applies to self-indulgent and self-serving. But when we think of self-sufficiency, our eyes glaze over with pious apathy. We don’t consider it as much of a no-no as the other “self” sins. But, I’m telling you, with God self-sufficiency is a big deal.

In fact, Jesus reproved the Laodiceans about their self-sufficiency in no uncertain terms. He said, “because you are lukewarm—neither hot nor cold—I am about to spit you out of my mouth” (Revelation 3:16). The Laodiceans were three-dollar Christians. Their self-sufficiency blinded them to their great need for Jesus. They didn’t have many material needs—in fact the text says that they were loaded—so they thought they didn’t need God. But in their self-sufficient attitude they had left Jesus standing outside the door of their hearts. They had enough of Him to get into heaven, but He didn’t have much of them in return!

But Jesus didn’t give up on the Laodiceans, just like He doesn’t give up on you and me. He wants to be much more than the divine “911” call of our lives—only hearing from us in moments of desperation and emergency. He wants us to abandon ourselves in our quest for intimacy with Him. He wants our souls to reach out for Him with passionate desire every day! I think the psalmist said it best when he wrote, “My soul thirsts for God, for the living God. When can I go and meet with God?” (Psalm 42:2). That’s a far cry from being satisfied with a measly three dollars’ worth of Him.

Ever feel there should be something more to your life? It’s Jesus you’re looking for—and a lot more than three dollars’ worth! If you’re looking for transformation, rebirth, and enough of God to “explode your soul,” you will only find it in a self-sacrificing, intimate relationship with Jesus Christ—and that is priceless.

--

Simon Kirene

pengarang : J. Williams


Ada cerita menarik di balik penyaliban Yesus. Kisah ini dicatat oleh Matius, Markus, dan Lukas. Ketika itu Yesus diharuskan berjalan sambil memikul salibNya sendiri menuju bukit Golgota. Tetapi karena sudah disiksa sebelumnya, Ia tidak kuat lagi memikul salib tersebut. Oleh karena itu, seorang yang bernama Simon dari Kirene, dipaksa untuk memikul salib Yesus (Matius 27:32).

Jadi, Simon dari Kirene mengikut Yesus karena terpaksa. Jelas bukan merupakan hal yang enak, tetapi ia tidak punya pilihan lain. Menolak memikul salib untuk mengikut Yesus bisa berarti kehilangan nyawa bagi Simon. Tidak dapat dibayangkan bagaimana perasaan Simon Kirene ketika ia berjalan dengan susah payah, memikul salib dan mengikut Yesus.


Tetapi cerita tersebut tidak berakhir di situ. Banyak peneliti sejarah Alkitab percaya bahwa Simon dari Kirene termasuk satu dari sedikit orang yang tetap berada di dekat Yesus pada saat Ia disalibkan. Sementara semua murid lainnya melarikan diri (Matius 26:56), Simon dari Kirene mendapatkan hak istimewa untuk mendampingi Yesus sampai kematianNya. Ia melihat keajaiban yang terjadi menjelang kematian Yesus. Ia mendengar tujuh perkataan terakhir yang diucapkan Yesus. Ia melihat bagaimana banyak orang yang pulang dan menyesal sambil memukul-mukul diri setelah melihat kematian Yesus di kayu salib (Lukas 23:48).


Banyak peneliti Alkitab yang percaya bahwa Simon terus berada di situ dan kemudian mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Keinginan tahunya membawa Simon untuk percaya dan menerima Yesus sebagai Tuhan dan JuruselamatNya. Ia ikut terlibat dalam persekutuan orang percaya. Ia ikut menikmati kebangkitan Yesus dari kematianNya yang kemudian disusul dengan pencurahan Roh Kudus. Ia hadir pada saat Roh Kudus dicurahkan dan murid-murid penuh dengan Roh Kudus dan berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain. Salah satu di antara bahasa lain itu adalah bahasa orang Kirene (Kisah Rasul 2:10). Kemungkinan besar, Simon Kirene juga mengalami pencurahan Roh Kudus saat itu.


Lama setelah itu, kedua anak Simon Kirene, yaitu Aleksander dan Rufus, menjadi orang-orang yang dikenal aktif dalam gereja mula-mula (Markus 15:21). Tidak hanya itu, Rasul Paulus bahkan menyebutkan Rufus sebagai orang pilihan Tuhan. Bahkan, isteri Simon Kirene dianggap sebagai ibu oleh Paulus (Roma 16:13).


Ketika Simon dipaksa untuk memikul salib dan mengikut Yesus, mungkin saat itu ia tidak mengerti. Mungkin ia hanya menurut karena tidak mampu melawan. Tetapi bertahun-tahun kemudian, keluarganya dikenal sebagai orang-orang pilihan Tuhan.


Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda pernah mengalami saat-saat dimana Anda diharuskan memikul salib dan terus mengikut Dia? Mungkin - sama seperti Simon Kirene - bukan karena kesalahan Anda tetapi Andalah yang harus memikul akibatnya. Kalau saat ini Anda sedang mengalami hal tersebut, ingatlah bahwa tidak ada yang kebetulan dalam kehidupan orang percaya. Semua hal tidak enak yang sedang Anda alami saat ini mungkin adalah salib yang harus Anda pikul yang akan menghasilkan perkara yang indah.


Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah - Roma 8:28

--

As a Deer


"As the deer pants for streams of water, so my soul pants for you, O God." Psalm 42:1

Several years ago my wife Martie and I had the unique experience of going on a camel safari in the desert of the United Arab Emirates. We rocked back and forth on top of those ugly beasts for an hour as we perused the quiet of the desert. In the course of describing the attributes of camels, our guide mentioned that they could live for 3 months without water. They are obviously built for the desert.

What a contrast to the sleek, “type A” gazelle the writer had in mind in Psalm 42. Bounding through the meadows and the forests, the deer is satisfied and sustained on a regular basis by water. He needs it and yearns for it in his fast-paced existence.

How easy it is in the midst of our abundance to be far more like the camel than the deer. Rarely sensing a need for God, some people can go for months without desiring Him. For some of us, life has been a long stretch of religious and secular activity without any sense of utter dependence on Him or sincere desire to know Him. The problem is that we weren’t built for life in a spiritual desert. We were built—redeemed, in fact—for regular, satisfying access to the refreshing presence of God in our souls.

So what is it that keeps us from really longing for and seeking Him? Of all the things that make us like the camel, none is so glaring as the sin of self-sufficiency. We have relegated Jesus to the sidelines, while we go about our business. Cultivating him as our soul mate and supreme necessity for life has somehow escaped us. But it hasn’t escaped Him. He still knocks at our heart’s door to offer the sweet fellowship that only He can bring (Revelation 3:20).

Let’s drink deeply, living in Jesus more like a deer and less like a camel.

--

Caring and Capable

“God is our refuge and strength, an ever-present help in trouble.” Psalm 46:1

On my way home one night, I noticed a glow of flashing lights about a half mile up the road. As I got closer, I saw several emergency vehicles on the scene—police and fire trucks and an ambulance. Needless to say, I was a little curious, wondering what was going on. The intersection up ahead was lit by floodlights and blocked off, with policemen diverting traffic. When I got up close to the scene, I saw a lone mangled motorcycle. The body was gone, and I could only imagine what that meant.

I felt concerned, thinking that somewhere there might be a spouse who just got some really bad news. There would be children, parents, and friends who would hear the news, and my heart went out to them.

Biblically speaking, I felt compassion. I was concerned about what had just happened. I may have gotten an A+ for compassion, but unfortunately I had absolutely no capacity to help in the situation. No matter how deeply I felt about it, there was nothing I could do.

Do you ever feel that way about God? Most of us would agree that God is rich in character—compassion being one of His greatest qualities—but what if He had no capacity to help? I love the lines from one of my favorite hymns, “Holy, holy, holy! Lord God Almighty . . . merciful and mighty.” Did you ever wonder what it would be like if God were merciful but not mighty? If He felt a surge of mercy toward you but had no ability to do anything about it? Or, perhaps even worse, what would happen if He were mighty but not merciful? We’d all be in a heap of trouble!

For those of us who lack confidence in the midst of crisis, it’s time to wake up to the phenomenal capacity of God to intervene and help us in times of trouble. I don’t know of a better passage that speaks to that than Psalm 46, where we are assured that “God is our refuge and strength, an ever-present help in trouble,” and we’re advised to “be still, and know that I am God” (vv.1,10).

You may be thinking, “How can I be still? If you were in my crisis, Stowell, you wouldn’t tell me to be calm!” But that’s what God is asking you to do—stop struggling against the problem, take a deep breath, and put your hands down. But ceasing to struggle has a downside—you’ll feel extremely vulnerable when you’ve lost all your defense mechanisms! Which is why we need to be reminded not only to cease striving but also to “know” who God is. Knowing Him reminds us that He is not only a God of great compassion but that He has a great capacity to help. He wants you to be still and to allow Him the opportunity to be actively involved in the midst of your problem.

So next time you’re in the midst of a crisis, hang in there! Be still and know that He is God, and that He is actively involved in your time of trouble. He is not only caring but infinitely capable of meeting you in your crisis and taking you through!

--

TETAP BERPEGANG PADA FIRMANNYA
Thursday, 16 June 2005
?Demikianlah firmanKu yang keluar dari mulutKu; ia tidak akan kembali kepadaKu dengan sia-sia, tetapi ia akan melaksanakan apa yang kukehendaki, dan akan berhasil dalam apa yang Kusuruhkan kepadanya.? (Yesaya 55:11) Tahukah Anda bahwa medan pertempuran untuk masalah yang Anda hadapi saat ini adalah di dalam pikiran dan bibir Anda?

BACAAN FIRMAN TUHAN : Mazmur 19:7-14
Jika Anda mau memukul iblis dengan Firman Allah dan menyerahkan kekuatiran Anda mengenai masalah ini kepada Allah, Anda akan menang.
Biarkan saya mengingatkan Anda bahwa berpegang pada Firman Allah tidak selalu mudah. Iblis tahu bahwa jika ia tidak mencurinya dari Anda, Anda akan menggunakannya untuk mengalahkan dia.
Maka jangan heran jika ia mengirimkan roh jahat untuk menentang Firman Tuhan. Jika Anda sakit, ia akan mulai mengatakan kepada Anda, ?Engkau tidak akan sembuh. Engkau tahu bahwa kesembuhan itu bukanlah untuk hari ini. Andaipun ya, kesembuhan itu bukan untuk engkau. Kesembuhan itu bagi orang lain dan bukan untukmu.?
Ketika ia mulai mengatakan kepada Anda hal seperti itu, jangan dengarkan! Jangan mulai mengkhawatirkan tentang hal itu dan berpikir, ?Oh, saya takut saya tidak akan sembuh. Saya benar-benar tidak merasa sembuh. Mengapa saya merasa menjadi semakin sakit??
Ingatlah ini: Firman Tuhanlah yang melakukan pekerjaan itu bukan orang yang berpegang padaNya. Firman itu akan bekerja bagi siapa pun yang menjalankannya. Firman itu akan bekerja bagi Anda seperti Ia bekerja bagi Yesus ketika Ia berada di dalam dunia.
Yesus katakan kepada iblis, Ada tertulis! Tidak peduli apa yang iblis coba katakan kepada Anda, jangan meninggalkan Firman Allah. Katakan pada iblis apa yang tertulis di dalam Firman Tuhan sesuai dengan situasi Anda. Biarkan Firman itu bertempur melawan iblis, karena setiap kali Firman itu akan mengalahkan si iblis.

--

Surat dari Yesus

Sahabat-Ku yang terkasih, Aku mengasihimu (Yoh 15:9). Aku telah memanggil engkau dengan namamu, engkau ini kepunyaan-Ku (Yes 43:1). Sebelum aku menciptakan engkau, Aku telah mengenal engkau. Dan sebelum engkau lahir, Aku telah menguduskan engkau (Yer 1:5). Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu (Yoh 15:16). Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setia-Ku kepadamu (yer 31:3). Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia (Yes 43:4).

Masakan Aku membiarkan engkau? Kasih-Ku padamu terlalu besar. (Hosea 11:8) Aku sangat mengasihimu hingga aku disalibkan di Kalvari. Aku mati untuk engkau, dan bila engkau percaya pada-Ku, engkau akan memperoleh kehidupan kekal. (Yohanes 3:16)

Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun dia melupakannya, Aku tidak akan melupakan engkau. Aku tak dapat melupakan engkau (Yesaya 49:15) Sebab Aku ini, TUHAN, Allahmu, memegang tangan kananmu dan berkata kepadamu: "Janganlah takut, Akulah yang menolong engkau.” (Yesaya 41:13) AKU MENYERTAI KAMU SENANTIASA SAMPAI KEPADA AKHIR ZAMAN. (Matius 28:20)

Janganlah gelisah hatimu, percayalah kepada-Ku. (Yohanes 14:1) Akulah yang menolong engkau. (Yesaya 41:14) Apabila engkau menyeberang melalui air, Aku akan menyertai engkau. Kesukaran yang kau hadapi tidak akan menghanyutkanmu. Pencobaan berat yang datang tak akan mencelakakanmu. (Yesaya 43:2)

Sekalipun engkau berjalan dalam lembah kekelaman, janganlah takut karena Aku bersamamu. Gada-Ku dan tongkat-Ku menghiburmu. Aku akan memimpinmu di jalan kebenaran. (Mazmur 23) Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu. (Yohanes 14:27)

Damai sejahtera yang Kuberikan padamu melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu. (Filipi 4:7) Jikalau engkau berbaring, engkau tidak akan takut dan tidur dengan nyenyak. (Amsal 3:24) Sebab Aku membiarkan engkau beristirahat dengan aman. (Mazmur 4:8)

Sebab mata-Ku tertuju pada mu dan memberikan pengharapan padamu. (Mazmur 33:18) Engkau akan beroleh jalan masuk. Di dalam kasih karunia ini engkau berdiri dan bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah. (Roma 5:2) Aku akan memberikan sukacita dan damai sejahtera. Bukit-bukit akan bergembira dan bersorak-sorai di depanmu, dan segala pohon-pohonan di padang akan bertepuk tangan. (Yesaya 55:12)

Mungkin kamu sekarang diliputi dukacita, tetapi Aku akan melihat kamu lagi dan hatimu akan bergembira dan tidak ada seorangpun yang dapat merampas kegembiraanmu itu dari padamu. (Yohanes 16:22) Rambut kepalamupun terhitung semuanya, jadi jangan takut akan segala sesuatu. (Matius 10:30)

Sebab biarpun gunung-gunung beranjak dan bukit-bukit bergoyang, tetapi kasih setia-Ku tidak akan beranjak dari padamu. (Yesaya 54.10) Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. (Matius 11:28)

Maka datanglah sahabat-Ku terkasih, datanglah. Aku akan membawamu dalam keheningan dan Aku akan berbicara dari hati ke hati. Aku benar dan setia. Aku akan menunjukkan kasih-Ku yang tak berubah dan menjadikan engkau kepunyaan-Ku selalu. Aku akan menepati janji-Ku, dan engkau kemudian akan mengenal-Ku sebagaimana belum pernah terjadi sebelumnya. Aku adalah Aku. (Keluaran 3:14) Aku adalah TUHAN, Allahmu (Hosea 13:4)


Sahabatmu yang setia,
Yesus

P.S.: Aku tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya. (Ibrani 13:8)

-

BUKALAH MATA MEREKA AGAR MELIHAT TERANG
Friday, 17 June 2005
?Jika Injil yang kami beritakan masih tertutup juga, maka ia tertutup oleh mereka yang akan binasa, yaitu orang-orang yang tidak percaya, yang pikirannya telah dibutakan oleh illah zaman ini, sehingga mereka tidak melihat cahaya Injil tentang kemuliaan Kristus, yang adalah gambaran Allah.? (2 Korintus 4:3-4)

BACAAN FIRMAN TUHAN : 2 Korintus 4:1-7
Karena Allah tidak menyelamatkan tiba-tiba orang dengan cara memaksa, apakah kita masih perlu berdoa untuk orang-orang yang nyata-nyata menolak untuk menerima Yesus sebagai Tuhan? Ya, YA! YA! PERLU! Anda tahu, bahwa meskipun sebagian besar orang yang tidak percaya menganggap bahwa keputusan mereka untuk menolak Yesus sebagai Tuhan adalah keputusan yang dibuat berdasarkan kehendak bebas mereka pada dasarnya, tidaklah demikian. Firman Tuhan berkata bahwa mereka telah dibutakan oleh iblis. Iblis menutupi pandangan mereka tentang kebenaran. Maka keputusan yang mereka buat bukanlah keputusan yang dibuat berdasarkan kehendak mereka sendiri.
Hal ini penting untuk Anda ketahui. Karena melalui doa, Anda dapat masuk kedalam kekuatan iblis dan menolong melepaskan orang-orang yang telah dibutakan tersebut. Anda juga dapat mengubah keadaan melalui doa-doa Anda dan menolong menciptakan situasi yang akan membawa mereka kedalam kontak dengan Tuhan. Anda berada di dalam hak-hak rohani Anda pada saat Anda melakukan hal itu.
Suatu kali saya sedang berdoa dengan seorang teman saya yang sedang mendoakan kakak laki-lakinya yang hilang selama bertahun-tahun. Yesus berkata di dalam Matius 12:29 untuk pertama-tama mengikat orang kuat dan kemudian memasuki rumahnya dan merampas barang-barangnya. Maka kami katakan, ?Iblis, engkau membutakan mata_, hentikan apa yang engkau lakukan untuk menahan dia masuk kedalam kerajaan Allah. Di dalam nama Yesus, hentikanlah sekarang juga_.? Yesus juga mengatakan di dalam Matius 9:38, ?Mintalah kepada tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu.? Maka kami berdoa, ?Tuhan, kirimkanlah seseorang kepada_ dengan Firman Allah. Engkau tahu siapa yang akan di dengarkannya. Kami mengklaim_ bagi pekerjaan kerajaan Allah. Kami percaya kami menerima kelepasan dan keselamatanya?. Kami berdoa di dalam iman untuk hal ini.? Tidak berapa lama kemudian kakaknya meneleponnya. ?Apa yang engkau lakukan di sana?? tanyanya, di dalam beberapa hari terakhir ini setiap orang yang saya temui mulai menginjili saya!? Doa kami telah masuk ke dalam kekuatan iblis yang telah digunakan untuk membutakan mata orang ini terhadap Yesus dan menciptakan keadaan yang membawa dia ke dalam kerajaan Allah. Benar saja, tidak berapa lama kemudian dia dilahirkan kembali.
Gunakanlah doa yang sama bagi orang-orang yang Anda kasihi yang masih terhilang dan percayalah bahwa ketika Anda berdoa, Anda lakan melihat hasil yang sama dengan yang kami alami. Jangan hanya duduk-duduk dan membiarkan iblis mengambil teman-teman dan orang-orang yang Anda kasihi tanpa perlawanan. Berdoa. Berdoa! BERDOA! Lawanlah ?penguasa dunia ini?. Rampaslah orang-orang buta dan bukalah mata mereka untuk melihat kemuliaan Injil Allah.

--

What's More Important Than Voting?


“I urge…that requests, prayers, intercession and thanksgiving be made for everyone—for kings and all those in authority.” 1 Timothy 2:1-2

Don’t forget to vote!

We have all heard that call to good citizenship. But beyond being a good citizen, being a good follower of Jesus means that we don’t forget to pray for our leaders. When we do pray, it just may make a difference in our own lives!

I don’t know how you feel about the people in authority over you, but if you’re like me, praying for them may not be your first impulse. There are plenty of leaders I would rather vote out of office than pray for! Yet according to 1 Timothy 2:1-2, we are to include them on our prayer list on a regular basis. We may not have “kings” who rule over us, but all of us can name people who qualify as “those in authority”—government officials, police officers, supervisors, parents, teachers, and a host of others who can pull rank on us.

Sometimes it’s hard to know how to pray for them, especially if we don’t know them personally. But we can start by praying for what they need. Every leader could use an extra dose of God’s wisdom for the challenges and decisions they face. In addition to wisdom, we should pray for integrity—for honesty and uprightness in their actions and freedom from deceit. Pray that they would have a genuine commitment to doing what is best for those who are under their authority. Ask God to give them humility that will enable them to use their power not for their own gain but for the good of the people. Pray that godly people will be in their circle of influence. Pray that they will come to know Christ as Savior.

But our text alerts us to the fact that praying for those in authority is not the end of the line. We ourselves are standing in the need of prayer as well.

First, we are called to pray for “peaceful and quiet lives” that are marked by “godliness and holiness” (v. 2). If we pray for our leaders and pursue these character qualities in our own lives, we just might make some progress—and in turn make a marked difference on our society and on our leaders as well.

Second, when we pray for those in authority over us, it serves to remind us that they are under God’s authority. And, just as they are under God’s authority, so must our lives be under His authority as well. When we are irritated that others don’t lead as people under the authority of His righteousness, we should think about how He must feel when we don’t live under His authority in the choices we make and attitudes we express. And remembering that He is the ultimate ruler reminds us that our hope is not in earthly “kings” but in the King of kings, who alone has power and authority over even the most powerful rulers.

Connect the dots! When we recognize that Jesus is the only One who can make a difference in the lives of our leaders, it should stir our hearts to pray for them.

And, as we pray for them, our hearts just may be stirred to focus on the needs of our own lives. Wouldn’t it be wonderful if, through prayer, Jesus would change the hearts of those leaders? Wouldn’t it be a wonderful thing if, through prayer, Jesus would change your heart and my heart? So, don’t forget to vote. And, more importantly, don’t forget to pray!

--

Jesus, or Me?

“I consider everything a loss compared to the surpassing greatness of knowing Christ Jesus my Lord.” Philippians 3:8

One of my all-time favorite memories about our kids was the time that my 7-year-old daughter Libby asked, “Daddy, are we famous?” My immediate response was, “No, Libby, we’re not famous.” She thought about it for a second and indignantly said, “Well, we would be if more people knew about us!”

I could hardly contain the laughter. Poor Libby, only 7, and already wondering and worried about herself—whether people liked us, or whether or not a lot of people knew about us! Poor Libby, already tied up in the world of “me”! And, unfortunately, this preoccupation with herself is something she will never grow out of, because we all struggle with the irresistible gravity of “me” and the tendency to live as though life is indeed all about “me”!

But I need to tell you, if life is going to be all about you, then someday you will be bored to tears. Listen carefully: If you think you are cool enough to entertain yourself with yourself for your entire life, you are wrong. I want to be gentle here, but no one is special enough to enthrall themselves with themselves for the rest of their lives!

I’m in my sixties, and I have to admit that I am already getting tired of me. I am tired of trying to deal with the insecurities that have haunted me for years. Tired of the failures in my life that I think I have finally gotten victory over just to have them pop up again. Tired of the carnal way I feel when people talk about their favorite preacher and it’s not me! Tired of looking in the rearview mirror and wishing I had done things differently. Tired of the awkward way I feel on those rare occasions when people praise me. I am just flat out getting tired of me.

But after sixty years I have to say that I never get tired of Jesus! I never get tired of praising Him and hearing Him praised. I still stand amazed at His unusual grace and mercy that He continues to pour out on me daily. As life goes on, I find Jesus to be more adventuresome, interesting, challenging, fresh, and compelling than ever before. I continue to find Him wonderfully different—anything but boring! No wonder Paul said that he counted even the best things about himself like dung compared to the surpassing value of getting to know Jesus (Philippians 3:7-8)!

When we’re young, we’re bullet proof. We think we’ll live forever. But when you get to be my age, you can see your mortality approaching on the horizon. It’s not difficult to see yourself someday sitting alone in the corner of a room at the nursing home waiting for the lunch bell to ring. And, if life has been all about you, that’s going to be a really bad day because there’s nothing left of you that’s worth getting excited about! But if your life has been all about Jesus, it will be a really good day because Jesus will be just as wonderful as He ever has been. And you might just hear Him whisper in your heart, “You’re almost home!”—which would be far better than hearing the lunch bell ring!

You get to choose: Will your life be about Him, or you? Choose Jesus and enjoy the rest of the journey!

--

TEMUKAN APA YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH KASIH KARUNA
Saturday, 18 June 2005
?Dan dengan kuasa yang besar rasul-rasul memberi kesaksian tentang kebangkitan Tuhan Yesus dan mereka semua hidup dalam kasih karunia yang melimpah-limpah.? (Kisah Para Rasul 4 :33)

BACAAN FIRMAN TUHAN : Kisah Para Rasul 4:8-33

Sebagian besar kita tidak mengetahui apa sebenarnya kasih karunia itu. Oh, kami tahu beberapa fakta dasar mengenai hal itu. Kami tahu bahwa kami diselamatkan oleh kasih karunia (Efesus 2:8). Tetapi kami bahkan tidak mengerti kuasa yang nyata yang dapat dilepaskannya kedalam hidup kami hari ini, saat ini! Jika Anda ingin memperoleh gambaran tentang apa yang dapat dilakukan oleh kasih karunia, lihatlah apa yang terjadi pada orang Kristen mula-mula di dalam Kisah Para Rasul 4. mereka telah diancam oleh pemimpin-pemimpin di Yerusalem dan di perintahkan untuk tidak berbicara atau mengajar lagi di dalam nama Yesus. Oleh sebab itu mereka berdoa mengenai situasi itu.
Apa yang mereka doakan kira-kira seperti ini, ?saat ini Tuhan, kami diancam, tetapi kami tidak akan berhenti memberitakan Injil dan tidak mau digagalkan oleh pemimpin-pemimpin agama itu. Nyatakanlah kuasamu, berikanlah kepada kami keberanian dan kami akan terus memberitakan InjilMu. Tahukah Ada apa yang terjadi sebagai jawaban doa mereka? Ayat 33 berkata, ?kasih karunia yang melimpah-limpah menaungi mereka.? Kasih karnia yang melimpah-limpah. Kasih karunia yang sangat kuat sehingga ketika orang-orang percaya itu menerimanya, seluruh gedung berguncang. Kasih karunia yang sangat besar, yang memungkinkan rasul-rasul melakukan ?banyak tanda dan mukjizat? diantara orang banyak.? (Kisah Para Rrasul 5:12).
Cerita itu saja seharusnya sudah cukup untuk menyakinkan Anda bahwa kasih karunia bukanlah pemikiran rohani yang abstrak. Kasih karunia itu nyata. Ia kuat. Ia menyediakan kuasa supernatural untu membuat sesuatu terjadi.
Saat ini, apakah Anda ingin mengetahui sesuatu yang sangat menarik? Alkitab berkata bahwa kasih karunia yang sama dengan yang tersedia bagi jemaat mula-lmula di Yesusalem tersedia juga bagi siapa pun yang pernah berdosa dan kehilangan kemuliaan Allah. Puji Tuhan, itu berarti bahwa Anda dan saya memenuhi syarat untuk menerimanya! Jika iblis mengancam Anda akhir-akhir ini, ikutilah teladan yang diberikan oleh jemaat mula-mula. Berdoalah dan katakan, ?Tuhan, saya tidak peduli dengan apa yang dikatakan oleh iblis dan pengikut-pengikutnya. Saya akan tetap mengucapkan kata-kata iman dan hidup dengan iman. ? dan saya akan melakukannya dengan berani. Nyatakanlah kuasamu!? Saya berani menjamin, jika Anda sungguh-sungguh mengenai hal itu, Ia akan melakukannya, dan Anda akan mulai menemukan apa sesungguhnya kasih karunia itu.

--

Storm Tracker

“Then Peter got down out of the boat, walked on the water and came toward Jesus. But when he saw the wind, he was afraid and, beginning to sink, cried out, ‘Lord, save me!’” Matthew 14:29-30

Normally, my favorite way to drive a speedboat is full-tilt, skipping across the water with the wind in my face. But this time my usual penchant for speed was tempered by the precious cargo being towed behind the boat—two of my granddaughters, Sophie, who is 4, and Maggie, who is 6, were going tubing for the first time. Our plan was to pull them gently along behind the boat on a huge tube designed with little cockpits for them to sit in.

So, I’m sitting in the driver’s seat of the speedboat and Maggie and Sophie are decked out in their life vests, nestled down into the tube, ready to go on their first-ever tube ride. And, good grandfather that I am, I resisted the lure of the boat’s horsepower and gently eased the throttle down ever so slowly, not wanting to scare the little girls who were already feeling a little tentative. But though well-intended, I was clueless. The tube was not designed to go slow. When pulled fast enough, the tube planes out on top of the water. When pulled slowly, water gushes over the front of the tube and actually pulls it underwater.

Well, you can imagine the terrified look on Sophie and Maggie’s faces as the tube took on more and more water! Their panicked cries of desperation could be heard all across the lake. Think of it, only 4 and 6 years old, and headed to Davy Jones’s locker! Needless to say, I stopped the boat immediately and we began reeling the tube in. The whole time we were pulling the tube in, we kept calling, “Look up here, it’s going to be okay! We’ve got you; you’re alright. Look up here!”

As they got close to us and heard our assuring words, their panic subsided and you could see their faces relax. They were no longer focused on the water around them and the real danger in the lake. Getting close to and keeping their eyes on the one helping them made all the difference.

To me that seems a lot like what happened to Peter in Matthew 14. No tubes and no speed boat, but real danger nevertheless. His bravery and courage took him quite a distance—in fact, all the way outside of a boat onto storm-tossed waves in the howling wind. For a few minutes, it was just him and Jesus, and Peter was able to do the impossible. He was walking on water! But then his attention got diverted. Suddenly he saw the churning water and the angry waves, and, Scripture records, he became afraid. The circumstances didn’t change, but the focus of his attention did.

But then Jesus reached out, drawing Peter’s focus away from the wind and back to Him. Back to the safety and security that Jesus always promises in the midst of the storm.

That’s the reminder we need when we’re in the midst of life’s storms. It’s so easy, isn’t it, to fixate on the very real dangers and distress that come with life’s problems. And yet our loving, gracious, infinitely powerful heavenly Father calls out to us: “Look up here; it’s going to be okay. I’ve got you, and I will bring you in safely.”

For Peter, it started with a simple, unadorned, heartfelt prayer. “Lord, save me!” We can cry out those same words as we look away from the waves and into the face of our Father today. As the old song says:

Turn your eyes upon Jesus,

Look full in His wonderful face,

And the things of earth will grow strangely dim

In the light of His glory and grace!

Remember, He didn’t bring you this far to let you drown!

--


SEBUAH MUKJIZAT DI DALAM DIRI ANDA
Sunday, 19 June 2005
?Bukan dengan keperkasaan dan bukan dengan kekuatan, melainkan dengan rohKu, firman Tuhan semesta alam.? (Zakaria 4: 6)



BACAAN FIRMAN TUHAN : Keluaran 3:1-14
Saya teringat waktu pertama kali saya ikut dengan tim Oral Roberts yang akan memimpin suatu kebaktian kesembuhan ilahi. Pada saat itu saya adalah seorang pelajar dan anggota dari awak pesawat Oral Roberts.
Pada saat itu saya adalah seorang pelajar dan anggota dari awak pesawat Oral Roberts. Saya telah menjadi orang percaya selama empat tahun lebih dan baru sedikit mengetahui tentang Allah, khususnya kebaktian penyembuhan seperti ini. Tetapi bagaimanapun, saya adalah anggota dari tim itu dan saya ingin sekali belajar. Saya mengikuti tim ini memasuki auditorium yang besar, yang dipenuhi oleh orang-orang sakit. Berjalan disana membuat bulu kuduk saya berdiri.
Saya berbalik dan secepat mungkin berjalan menuju kepintu samping, berbicara kapada Tuhan dengan sedikit berbisik, ?Tuhan, saya seharusnya tidak berada di tempat ini,? saya katakan kepadaNYa, ?saya akan menunggu bus dan akan pulang ke rumah sekarang juga. Mereka dapat menerbangkan pesawat itu tanpa saya.?
Pada saat saya sudah berada di luar pintu, saya mulai berbicara lebih keras. Kemudian dengan tiba-tiba tubuh saya kaku. Kaki saya tidak dapat digerakkan. Saya tahu bahwa Tuhanlah yang meghentikan saya karena, di dalam diri saya, saya masih berkeras untuk menuju stasiun bus. Tetapi nyatanya saat ini saya terhenti di trotoar jalan. Saya melihat ke atas dan berteriak, ?Tuhan, lemaskan tubuh saya!? Tetapi saya tetap tidak dapat bergerak. Dengan putus asa saya berdoa, ?Tolonglah Tuhan, biarkan saya pergi! Saya tidak memiliki apa-apa untuk orang-orang itu.? Pada saat itu juga Allah menjawab saya. Setiap sel di dalam tubuh saya dapat mendengarNya. Ia berkata, ?Aku tahu bahwa engkau tidak memiliki apapun untuk diberikan kepada orang-orang itu. Tetapi Aku PUNYA dan itulah sebabnya Aku membabtis engkau di dalam RohKu.? Seketika itu juga kaki saya lemas, dan saya tahu bahwa saya mempunyai satu pilihan. Yang pertama adalah kehidupan, yang lain adalah kematian. Maka saya berbalik dan kembali ke auditorium itu.
Saya siap untuk berlari. Tetapi Allah mencegah saya. Ia tahu IA ada di dalam saya, dan jika saya tetap di dalam Dia dan mengarahkan apa yang ada di dalam saya, mukjizat dapat terjadi ? dan mukjizat memang terjadi.
Anda memiliki Allah pembuat mukjizat yang sama di dalam diri Anda. Dan ada banyak orang di sekeliling Anda yang membutuhkan Dia. Jadi janganlah menunggu sampai Anda merasa bahwa Anda memiliki kuasa untuk melakukan sesuatu. Anda dapat menemukan bahwa kuasa yang anda tunggu-tunggu telah berada di dalam diri Anda setiap waktu? sedang menunggu Anda.

--

Resiko kesombongan

Kecongkakan mendahului kehancuran, dan tinggi hati mendahului kejatuhan. Amsal 16:18.


Kesombongan itu berisiko. Sebab kesombongan merampas kewaspadaan kita; menyingkirkan kesadaran akan keterbatasan kita.
Tidak heran kalau kejatuhan, kegagalan, dan kepahitan hidup kerap berawal dari kesombongan.
Ya, kesombongan seumpama jalanan licin dan berduri. Pada akhirnya akan mencinderai diri sendiri.
Berhati-hatilah dengan kesombongan!
Kuncinya adalah mawas diri. Bahwa sehebat apa pun kita, tetaplah kita ini mahluk yang terbatas.

--

SEHAT KARENA MENGASIHI
Monday, 20 June 2005
?Kasih? tidak memegahkan diri dan tidak sombong, ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.? (1 Korintus 13:4-5)

BACAAN FIRMAN TUHAN : Amsal 4:10-27
Berjalan di dalam kasih baik untuk kesehatan Anda. Apakah Anda sudah mengetahui hal itu? Hal itu telah dibuktikan oleh ilmu kedokteran. Para peneliti telah menemukan bahwa kemarahan menyebabkan stres yang mengakibatkan bisul, sakit kepala, dan pangkal dari segala jenis penyakit lainnya.
Saat ini jika Anda berpikir tentang kemarahan, Anda mungkin berpikir mengenai jenis kemarahan yang Anda rasakan ketika sesuatu hal yang serius terjadi. Tetapi menurut para ahli, hal semacam itu bukanlah penyebab yang serius dan masalah-masalah yang terburuk. Justru hal-hal kecil seperti: rusaknya baju favorit Anda oleh pelayanan binatu, atau kelalaian petugas kafetaria yang membubuhkan saos pada makanan pesanan Anda padahal Anda telah memberitahunya untuk tidak membubuhkan saos itulah yang menyebabkan masalah-masalah terburuk.
Pikirkanlah berapa besar stres yang dapat Anda hindari dengan menjadi seorang yang cepat memaafkan, dengan hidup menurut apa yang tertulis di dalam 1 Korintus 13 dan tidak membalas kejahatan yang dilakukan orang lain terhadap Anda. Bayangkanlah keuntungan finansial dan emosional yang Anda dapatkan dengan hidup seperti itu.
Jika anda membiasakan diri Anda untuk teringat oleh kemarahan, hal di atas sepertinya menjadi mimpi yang tidak mungkin. Padahal hal itu bukanlah sesuatu yang mustahil karena sebagai seorang percaya yang telah lahir baru, Anda memiliki kasih Allah di dalam hidup Anda. Jika anda berserah pada kasih Allah, maka kasih itu akan membebaskan Anda. Ingatkah Anda ketika Yesus memanggil Lasarus untuk keluar dari kubur? Ia hidup, tetapi masih teringat dengan kain kapan. Yesus memerintahkan orang untuk membuka ikatan kain kapan itu sehingga Lasarus dapat bebas berjalan.
Yesus menginginkan kebebasan yang sama seperti itu bagi Anda. Oleh sebab itu buatlah perjanjian denganNya. Katakan pada kebiasaan-kebiasaan buruk yang mengikat Anda, ?Dalam nama Yesus, lepaskan saya dan biarkan saya pergi! Saya meletakkan kemarahan, dendam, dan sifat egois saya dibelakang saya. Saya akan berjalan dengan Allah. Saya akan menjalani hidup yang penuh kasih! ?Ingatlah satu hal: tidak diperlukan keajaiban secara medis untuk membalikkan hidup Anda. Satu-satunya yang perlu Anda lakukan adalah membuat keputusan untuk menyerahkan diri Anda pada kekuatan kasih. Lakukanlah mulai hari ini!

--

Tinggal didalam Kristus

Yohanes 15:5 “Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.”

Sebuah ranting pohon anggur tidaklah memiliki kemampuan untuk berbuah. Yang perlu dilakukan ranting itu hanyalah tinggal di dalam pokok anggur sehingga dengan sendirinya ia akan menghasilkan buah. Kita tidaklah memiliki kemampuan untuk menghasilkan buah.Bagian kita hanyalah melekatkan diri pada Kristus maka dengan sendirinya hidup kita akan berbuah berlimpah-limpah.

--

Harta Benda Bukan Ukuran Berkat

pengarang : joseph wise poriman


Saudara-saudari yang kekasih..

Tuhan tidak berjanji bahwa mereka yang percaya dan melayani Dia akan selalu menjadi orang kaya, namun Ia berjanji bahwa orang itu dan bahkan anak cucunya tidak akan sampai mengalami kekurangan atau meminta-minta ( Mazmur 37 : 25 ).

Tuhan akan selalu menyediakan dan mencukupi kebutuhan orang benar yang mau terlebih dulu mencari Kerajaan Allah. Berapa banyak berkat yang kita terima adalah urusan Tuhan yang memberi berkat. Menyenangkan Tuhan adalah tugas kita sebagai kehidupan yang sudah diberkati.

Kita lihat dalam Alkitab, ada kehidupan orang-orang kaya yang menyenangkan Tuhan :

1. Abraham
Mengapa Abraham menyenangkan Tuhan ? Karena Abraham bukan orang yang tamak dan mudah tergiur pada apa yang baik menurut kacamata jasmani, terbukti saat ia membiarkan Lot memilih tanah yang lebih dekat Sodom yang lebih subur.

2. Zakheus
Zakheus yang semula adalah seorang pemeras menjadi berubah total setelah bertemu Yesus. Dan satu tindakan pertama yang ia lakukan setelah bertobat adalah dengan memutar balik orientasinya yang semula lebih ia tekankan kepada kekayaan untuk diri sendiri, sekarang menjadi berbagi dengan sesama yang kekurangan, bahkan kepada mereka yang dulu pernah ia peras dan tipu.

3. Yakub
Meski awalnya adalah seorang anak yang menipu ayahnya sendiri, Yakub kemudian menjadi diberkati karena sikap pantang menyerah, integritas, dan kerja keras yang ia tunjukkan terutama saat bekerja pada Laban. Bukan hanya kekayaan saja yang diberikan Tuhan kepada Yakub, tapi ia juga diperdamaikan kembali dengan Esau. Itu satu berkat.

4. Yohana isteri Khuza bendahara Herodes, Susana dan banyak perempuan lain ( Lukas 8 : 3 )

Mereka adalah donator bagi pelayanan Yesus bahkan meski Herodes tidak mendukung Yesus, para wanita ini tetap tahu apa yan terbaik dalam memanfaatkan kekayaan mereka. Nah, inilah kehidupan orang-orang kaya yang menyenangkan Tuhan.

Kelemahan manusia adalah cenderung selalu berpikir dalam konteks material. Padahal harta benda bukan ukuran berkat. Sebaliknya kemiskinan juga bukanlah ukuran bahwa seseorang telah berkorban di dunia demi harta di surga, tidak ! Saudara, Tuhan menyukai kesederhanaan ( Tit 2 : 2 ) dalam arti pengendalian diri, tapi bukan kemiskinan. Tuhan adalah Allah yang memelihara, karena itulah orang yang hidup dalam jalan yang benar tidak perlu khuatir akan mengalami hidup kekurangan, amen ?

Tetapi Tuhan juga tidak melarang manusia menjadi kaya ! Dalam Alkitab, kita tahu ada perikop Firman Tuhan tentang orang kaya yang sukar masuk Kerajaan Allah ( Markus 10 : 17-27 ). Akan tetapi, jika kita cermati, Yesus di situ sebenarnya berbicara tentang orang kaya yang menempatkan kekayaannya di atas Tuhan dan pelayanan kepada orang lain. Itu sebabnya, kita juga perlu meneladani kisah-kisah Abraham, Yakub, Daud, Salomo, Ayub dsbnya, mereka adalah ornag-orang yang mau dipakai Tuhan dan Tuhanpun memberi mereka kekayaan agar dapat melayani Dia dan sesama.

Jadi, Tuhan tidak pernah melarang kita menjadi kaya. Sebaliknya, IA justru akan menganugerahkan berkat kekayaan bagi mereka yang hidup berkenan di dalam Dia.

Setiap tahun kita melihat laporan di media tentang daftar orang terkaya di dunia menurut berbagai versi. Kekayaan menurut manusia adalah seberapa banyaknya harta benda, deposito, pendapatan perusahaan dsbnya.

Saudara, kekayaan sejati menurut pandangan manusia sangatlah berbeda dengan pandangan Tuhan. Dalam Alkitab, Tuhan tidak memandang kekayaan dalam hal harta benda sebagai suatu kekayaan sejati. IA memperingatkan bahwa harta benda adalah hal yang fana ( Matius 6 : 19-20 ). Tapi meskipun begitu, Ia juga menjanjikan bahwa siapa yang setia kepadaNya juga akan memperoleh kekayaan dalam dunia ini menurut kemuliaanNya ( Filipi 4 : 19 ). Jadi ukuran kekayaan menurut Tuhan bukanlah pada besarnya harta yang dimiliki seseorang, melainkan sejauh mana ia mempergunakan kekayaannya itu untuk melayani Tuhan dan sesamanya.

Saudara, gaya hidup kita akan selalu dilihat dan diperhatikan orang. Apakah gaya hidup kita akan dilihat sebagai gaya hidup OKB ( Orang Kaya Baru ), royal, konsumtif, hedonis, boros atau malah pelit ? Saudara, satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa gaya hidup kita juga dilihat dan diamati oleh Tuhan yang telah menitipkan kekayaan itu kepada saudara.

Gaya hidup sebagai terang dan garam dunia adalah gaya hidup yang diperintahkan Tuhan untuk kita miliki ( Matius 5 : 13-16 ). Terlebih lagi dengan kekayaan yang otomatis membuat dunia lebih menyoroti saudara, sehingga tanggungjawab kita untuk menjadi garam dan terang dunia juga semakin besar. Apakah saudara dapat memakai kekayaan dan harta benda itu dengan bijak dan untuk kepentingan yang lebih besar dari sekedar gengsi atau prestise diri sendiri, itulah yang sedang dilihat Tuhan dari kita. Ingat, sebagai anakNya, baik buruknya gaya hidup kita di dunia ini juga mempengaruhi nama Bapa di surga.

Jika kita adalah kehidupan yang diberkati Tuhan dengan kekayaan, mari muliakan Tuhan dengan harta kita. Mari kita menjadi orang kaya yang menyenangkan Tuhan, amen ?


--

Ibadah Sejati

Roma 12:1

Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.)

Dalam mengamati kehidupan kekristenan saat ini , kadang kala kita menemukan sekelompok orang yang memiliki dualisme kehidupan, yaitu ketika berada dalam bangunan gereja untuk mengikuti kegiatan kerohanian, hidupnya kelihatan rohaninya luar biasa, namun ketika ia berada di luar kegiatan - kegiatan kerohanian hidupnya tidak berbeda dengan kehidupan orang yang tidak mengenal Allah, mengapa demikian..? Dalam tulisan ini penulis merenungkan salah satu hal sebagai penyebab terjadinya dualisme kehidupan tersebut yaitu dangkalnya pemahaman orang kristen tentang konsep ibadah. Banyak orang Kristen berpikir bahwa ibadah hanya dibatasi dalam kegiatan ibadah minggu atau kegiatan rohani lainnya yang didalamnya diisi dengan susunan liturgi gereja, pujian gereja, doa, penyembahan dan perenungan Firman Tuhan yang dipimpin oleh seorang pendeta yang dilakukan dalam ruangan kebaktian tertentu dan yang dibatasi oleh waktu tertentu. Namun apabila kita melihat dari bahasa asli kata ibadah yaitu dalam bahasa Ibrani mengunakan kata Abodah yang memberikan pengertian sikap membungkukan badan tanda hormat seorang hamba dihadapan tuannya. Dalam bahasa Yunani kata latreia, leitourgia memberikan pengertian sikap tunduk serta mencium tangan tanda hormat dan mengasihi. Hal ini menunjukkan sikap hormat dan kasih dari seorang hamba kepada Tuannya. Dari pengertian ibadah dalam bahasa asli tersebut tesebut dapat disimpulkan bahwa ibadah menyangkut sikap hormat, tunduk yang dilandasi oleh kasih dari seorang hamba kepada tuannya. Sedangkan dalam Teks Roma 12:1 diatas, Paulus menekankan bahwa esensi ibadah tidak sempit, dimana Paulus menegaskan bahwa ibadah yang sejati adalah hidup yang dipersembahkan kepada Allah. Selanjutnya Paulus menekankan bahwa hidup yang dipersembahkan adalah hidup yang kudus itulah yang berkenan kepada Allah. Pertanyaan yang muncul adalah apakah orang kristen hanya mempersembahkan hidupnya kepada Allah sebagai tanda hormat, tunduk dan kasihnya hanya dibatasi dalam ruang kebaktian dan dalam ibadah-ibadah tertentu? setelah selesai kebaktian-kebaktian tersebut apakah orang kristen tidak lagi mempersembahkan hidup kepada Allah? Jawabannya tidak. Dimanapun, kapanpun dan dalam situasi apapun orang Kristen terus mempersembahkan hidupnya kepada Tuhan. Sebab ketika kita telah mengalami kelahiran kembali maka secara simultan hidup kita sudah milik Tuhan maka Paulus berkata hidupku bukannya aku lagi tapi Kristus yang hidup didalamku. Selanjutnya Paulus memiliki sebuah statement bahwa Hidup adalah Kristus (Fil 1:21).

Ketika orang kristen sampai kepada pemahaman ini bahwa ibadah menyangkut hidup yang dipersembahkan kepada Allah yang teraplikasi dalam sikap tunduk, hormat dan kasih kita kepada Tuhan, maka dimanapun dan kapanpun kita tetap dalam ibadah sebab dimanapun, kapanpun dan dalam siatuasi apapun hidup kita tetap milik Tuhan karena telah dipersembahkan kepada Tuhan. Oleh sebab itu orang kristen harus menjaga hidupnya terus untuk tetap mempermuliakan Tuhan dimanapun, kapanpun dan dalam situasi apapun, sehingga kita dapat menjadi garam dan terang bagi dunia dimana kita berada.

--

SNOOPY

FOR 50 YEARS, cartoonist Charles Schulz gave us pictures of ourselves wrapped in a smile. One of the last strips I clipped from our Sunday paper showed Snoopy the dog sitting on top of his doghouse with a typewriter, writing about his life. He titled his story . . .

The Dog Who Never Did Anything

Snoopy remembers it this way, “You stay home now,” they said, “and be a good dog.”

So he stayed home and was a good dog.

Then he decided to be even a better dog. So he barked at everyone who went by. And he even chased the neighbor’s cats.

“What’s happened to you?” they said. “You used to be such a good dog.”

So he stopped barking and chasing cats, and everyone said, “You’re a good dog.”

The moral, as Snoopy typed it, is “Don’t do anything and you’ll be a good dog.”

As I turned the smile around in my mind, I noticed a quirk of the English language. Snoopy and God have something in common. They are related not only by alphabet (dog and god), but by what “creatures in the middle” expect of them. The idea intrigued me enough to try another version.

The God Who Never Did Anything

“You give me what I want now,” they said, “and be a good God.”

So He gave them what they wanted and He was a good God.

Then He decided to be an even better God.

He started knocking over the furniture of other gods, and He used pain to help people in ways they could not understand.

“What’s happened to You?” they said.

“You used to be such a good God.”

So He stopped knocking over the furniture of other gods, and He stopped using pain in ways that were beyond people’s ability to understand.

And everyone said, “You’re a good God.”

The moral, as angels might see it, “Stop acting like God and people will think You’re good.”

The God We Want

Many of us imagine God as we want Him to be. To our wishes we add expectation. We expect Him to encourage us when we are afraid, to comfort us when we’re hurt, to forgive us when we fail, and to give us what we think we need when we think we need it.

Yet, along the way, we keep stumbling into the awareness that the King of Heaven is more apt to come to us in His own style, time, and mystery. He is seldom as we imagine Him to be. He is more like the God who reveals Himself in the pages of His own history.

There He comes to us in the unexpected surprises of joy, in the unwanted nights of our misery, and in the solitary sounds of our own loneliness. He comes to us in the unexpected joys of Adam, in the numbed grief of Eve, in the inconsolable tears of the childless Hannah, in the murderous anger of Moses, and in the madness of a powerful Nebuchadnezzar.

But me? Until He responds, I’d rather have it my way. In the moments of my dissatisfaction, I don’t want to have to wait for what I want. I want it now. Now. I’ll pray. I’ll pay. I’ll bargain. I’ll crawl on my knees. But I want God to prove that He is good—right now.

The God Who Has Been Good

Even in our “maturity” we can be like 2- and 3-year-olds pulling at the pant leg of heaven. Our Father isn’t surprised. He knows how to raise physical, emotional, and spiritual toddlers. He knows how to run with us in our youth, and how to walk with us at 74, 84, and 94.

And for those who go further, He is still there, hearing once again our whimpers in the night, and reaching down with the affection of an adoring mother who carefully lifts her children from their crib to herself.

No, He has not always been the kind of parent we wanted Him to be. Yes, He has been good on His terms rather than on ours. He has not answered our prayers in the way we asked. Seldom has He allowed anything to play out according to our own expectations or childish demands. Yet His determination to lead us in the paths of His own choosing is what has made Him so good.

The God Who Will Be Good

The promise of tomorrow comes with the wrinkled snapshots of yesterday. Even though our memories are not as sharp as we’d like them to be, and even though the happy times are mixed with regret, our albums contain memories of a God who keeps reminding us that He is better than our expectations. He is better than our demands. He is better than anything this life has to offer.

If He allowed a relationship to be lost, He stayed with us to remind us that we weren’t made for one another as much as we were made for Him. As our bodies give way to time, they become painful reminders that we were not made for these bodies. We were made for the One who said from the top of a thundering, burning mountain—to a people huddled in the middle of a life-threatening wilderness—“I am the Lord your God, who brought you out of the land of Egypt, out of the house of bondage. You shall have no other gods before Me.”

This is the God who, because He is good, refuses to “stay home and do nothing.”

Father, thank You for a man named Charles Schulz who brought us elements of truth amid our smiles. Thank You for being God on Your terms rather than ours. May Your name be hallowed as we wait on You. May Your kingdom be reflected in our patience. May Your will be done in our disappointments. Please, give us this day our daily bread.

-

WHO'S HOLDING ALL THE CARDS?

“Now Naomi had a relative on her husband's side, from the clan of Elimelech, a man of standing, whose name was Boaz” Ruth 2:1


To borrow a poker phrase, some people seem to hold all the cards. They are dealt a winning hand while the rest of us do the best with what few resources we may have. And with a “winner takes all” frame of mind, many of these high-profile, prosperous people manipulate and maneuver their wealth and power to pursue their own interests and advance their own cause. We all know the type.

In the story of Ruth, Boaz holds all the cards. He enters the scene as a man of great wealth and power. Yet I am struck by several aspects of his life that set him apart from the typical guy who holds all the cards.

I love the fact that he willingly aligns his resources with God’s heart for the poor and needy. God outlined in Levitical law that those who didn’t have the resources to survive could be “gleaners”—gathering grain that intentionally was left at the edge of the fields during harvest time. Boaz lived in a time when everyone did what was right in their own eyes. After a devastating famine, he could easily have ignored God’s heart for the poor in order to secure an abundant harvest for himself. But unlike other wealthy landowners, he still welcomed gleaners in his field. It was a tangible display of God’s love for the needy.

God also provided ways in which foreigners could be welcomed in Israel. Again, Boaz aligned himself with God’s heart—even for a Moabite from enemy territory. He could have cast Ruth aside when he learned she was not a Jew. Instead, he opened his heart to her. Sometimes we don’t want other “kinds” of people to move into our neighborhood, but God is actually delighted when they do. It’s an opportunity for us to do what Boaz did—open our hearts to “different” people who could use a tangible expression of God’s love and grace in their lives.

Not only did Boaz use his wealth for the benefit of those in need and welcome a foreigner to his field, he also desired to see God’s blessing poured out on her (Ruth 2:11) and then proceeded to be the instrument of God’s blessing in her life (2:14). He became the answer to her prayers.

Boaz was also abundantly generous in his care for Ruth. Once again he put his treasures where God’s heart is. It is the character of God to be a generous God “able to do far more abundantly than all we ask or think” (Eph. 3:20).

So when was the last time you planned to cooperate with God and be the answer to someone’s prayers? You may think, Easy for Boaz—he had all the cards! But we all have some cards. Whether big or small, there’s always something we can do to bring the heart of God to a needy life that crosses our path.

Besides, God is the One who really holds all the cards. He shares His resources with us not for us to consume them all ourselves, but to share them for His glory and the good of others. So life is not about holding all the cards. From God’s point of view, it’s what you do with your cards. Use them as God would to bless others who cross your path.

--

The Blessing Tree

SOURCE: OUR DAILY BREAD

He who is mighty has done great things for me. —Luke 1:49

I read about a young couple whose business had failed, and they had little money to spend at Christmas. They were going to have to move out of their house after the new year. But they didn’t want their holiday season to be spoiled because of it. So they decided to throw a party. When the guests arrived, they saw a cedar tree decorated with one string of lights and small rolled-up pieces of paper tied to the limbs with ribbon.

“Welcome to our ‘blessing tree’!” they said, beaming. “In spite of hard times, God has blessed us in so many ways that we decided to dedicate our tree to Him. Each piece of paper describes a blessing He has given us this year.”

This couple has faced more trials since then, but they have chosen to stay focused on the Lord. They often remark that the Christmas with the “blessing tree” was one of their most beautiful, because they could testify as Mary did: “My spirit has rejoiced in God my Savior. . . . He who is mighty has done great things for me” (Luke 1:47-49).

Whatever your difficulties, they needn’t spoil Christmas, for nothing can spoil Christ! Stay focused on Jesus and seek ways to share His blessings with others—perhaps through your own “blessing tree.”
—Joanie Yoder

Jesus came—and came for me!
Simple words, and yet expressing
Depths of holy mystery,
Depths of wondrous love and blessing. —Havergal


To give meaning to Christmas, give Christ first place.

--

DON'T JUST CELEBRATE . . . IMITATE!

"Be imitators of God, therefore, as dearly loved children” Ephesians 5:1

I can still remember my dad standing there, coat on and hat in hand on Christmas afternoon asking me, “Joe, do you want to come with me?” His question made me uncomfortable because I knew I should say yes, but being deep into playing with my Christmas presents, going with him was not my idea of a great way to spend Christmas afternoon.

My idea of Christmas was a time to celebrate Christ’s birth by giving and getting gifts, eating some of Mom’s all-time best cooking, and lots of play time with my new toys!

My dad liked all that kind of stuff too. But every year he had something else in mind. He knew that Christmas was more than a celebration of Christ’s birth. For him, the spirit of Christmas had a deeper meaning. He knew that the highest form of honoring Jesus is more than celebration—it’s imitation.

In fact, seeing Christmas as merely celebration can have a selfish bent to it. It can end up being primarily about days off from work, parties, family, friends, games, football, gifts, and lots of great food. But imitation—not celebration—pays a higher compliment to the one whose life we celebrate.

For Jesus, Christmas was not warm, convenient, or comfortable. In our modern-day materialized blur of Christmas, we must keep reminding ourselves that the birth of Jesus put into motion the central act of God’s redemptive plan, and it came at a cost. Not only did Jesus temporarily relinquish the glorious privileges of heaven, He ultimately gave His life on a blood-stained cross where His sinless body bore the weight of my sin—and yours. Jesus presented our world with a costly redemptive gift. Which is precisely why my dad was on his way out the front door.

His mission? To visit an elderly widow who lived down the street. With no children and no family, she spent every holiday alone. And every Christmas my dad, in the midst of celebration, gave the gift of himself, sharing a few moments of companionship to help ease her lonely heart.

I learned a valuable lesson from my dad. Around all of our lives there are people who long for a touch from heaven through some caring, even sacrificial, act of love on their behalf. Who are the people you could call on Christmas day? Check your party lists. Is there someone who will go nowhere if not invited by you?

Indelibly etched on my memory are those two or three times when I stood up from my toys, grabbed my coat, put my hand in Dad’s, and walked down the street to spend an hour imitating Christ’s gift of Himself.

This year, let’s do more than celebrate Christ. Let’s honor Him by imitating the grace of His selfless and sacrificial love for us.


-
Melarang Yesus untuk masuk ke dalam gerejaNya sendiri

Waktu itu Minggu pagi yang cerah. Orang-orang pergi memenuhi gereja dengan pakaian yang bagus-bagus. Ketika mereka masuk, mereka diberi sebuah buletin yang berisikan pengumuman, tema khotbah hari itu, dan nyanyian yang akan dinyanyikan dan siapa yang perlu didoakan. Pada ujung belakang deretan yang hendak masuk berdirilah seorang tua. Pakaiannya kumuh dan tampaknya sudah beberapa hari ia tidak mandi dan mencukur janggutnya. Ketika ia sampai ke depan pintu, ia melepas topinya dan memberi hormat pada usher. Rambutnya panjang, kotor dan kusut. Lalu usher itu berkata pada orang tua ini, “Maaf Pak Tua, tetapi Anda tak boleh masuk. Anda akan mengalihkan perhatian jemaat dan kami tidak menginginkan ada orang yang mengganggu kebaktian kami.” Orang tua itu memandangnya dengan wajah bertanya-tanya, ia memakai kembali topinya lalu ia meninggalkan gereja. Ia merasa sedih, karna ia ingin mendengar lagu-lagu pujian bagi Tuhan dan merasakan suasana ibadah dan hadirat Tuhan.Tetapi sayang sekali, ia tidak diizinkan masuk…

Di dalam sakunya ada sebuah Alkitab yang sudah tua dan usang dan ingin sekali mendengarkan Firman Tuhan, ia ingin mendengar pendeta mengutip ayat-ayat yang telah banyak ia garis bawahi di Alkitabnya. Tetapi sayang sekali, ia tidak diizinkan masuk….

Lalu ia menundukkan kepala dan berjalan menuruni tangga gereja yang besar itu. Ia duduk di luar halaman gereja dengan harapan masih bisa mendengar lagu-lagu pujian kepada Tuhan melalui pintu yang telah ditutup itu. Ah, betapa inginnya ia berada di antara mereka. Betapa rindunya ia beribadah mencari wajah Tuhan. Beberapa menitpun berlalu ketika seorang muda datang dari belakang dan duduk di dekatnya. Lalu orang muda ini bertanya pada orang tua apa yang sedang ia lakukan. Orang tua itu menjawab, “Saya ingin sekali ke gereja hari ini mencari wajah Tuhan, tetapi saya kumuh dan pakaian saya telah tua. Mereka khawatir kalau saya mengganggu kebaktian mereka, saya tidak diizinkan masuk, itu sebabnya saya berusaha menikmati puji-pujian dan suasana ibadah dari luar.” Katanya dengan sedih. Lalu kedua orang itu berkenalan dan bersalaman.

Lalu Pak tua berkata : nama saya Stefanus, dan ia melihat orang muda itu berambut panjang seperti dia, mengenakan jubah, dan memakai sandal yang telah berdebu dan kotor. Lalu orang muda itu menepukkan tangannya ke bahu Stefanus dan berkata, “ Stefanus, jangan merasa terhina karena mereka melarangmu masuk. NamaKu YESUS, Aku juga telah berusaha untuk masuk ke gereja ini selama bertahun-tahun, dan mereka tidak membolehkanKu masuk.”

Apa yang bisa kita petik dari illustrasi ini ? Ada 2 hal : Pertama, tanpa kita sadari seringkali kita masih belum membuka hati memberi tempat bagi Yesus sekalipun kita sudah bertahun-tahun beribadah. Kedua, kita menghalangi orang lain untuk datang beribadah seperti yang dialami oleh Pak Tua Stefanus ini, kita belum membuka hati memberi tempat untuk jiwa-jiwa yang terhilang, hati kita tidak terbeban untuk jiwa-jiwa yang terhilang. Kita masih belum melakukan pelayanan ini, pelayanan memberi tempat.

APA YG DIMAKSUD DENGAN PELAYANAN MEMBERI TEMPAT ?

Membuka hati menyambut Yesus untuk sekali lagi lahir dalam hati kita sehingga hidup kita diubahkan.

Contoh: Orang Majus.

Orang majus ini memberi tempat bagi Tuhan. Buktinya orang majus mempersembahkan harta mereka. Kalau orang majus mempersembahkan harta mereka, berarti mereka itu telah mempersembahkan hati mereka. Sebab ada ayat yang mengatakan dimana hartamu berada di situ juga hatimu berada. Bahkan setelah mempersembahkan harta mereka, Matius 2 : 12b menuliskan mereka pulang melalui jalan lain, artinya mereka tidak kembali ke jalan hidup mereka yg lama, sebab mereka sudah diubahkan, kapan mereka diubahkan ? Saat mereka membuka hati memberi tempat bagi Yesus, saat itulah hidup mereka diubahkan.

Kalau kita datang beribadah tapi hidup kita tidak pernah berubah itu berarti kita masih belum memberi tempat bagi Yesus di hati kita. Dalam Injil Lukas Yesus berkata orang Farisi pulang tidak sebagai orang yang dibenarkan, sebab meskipun mereka rajin beribadah tetapi mereka belum membuka hati untuk Tuhan.

Marilah kita memberi tempat buat Yesus lebih lagi pada tahun 2008 seperti orang Majus yang memberikan persembahan terbaik buat Dia!

--

Yesus akan datang ketempatmu...besok!!!

Yesus berkata dalam Matius 25 : 40….sesunggunya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku. “. Dua ribu tahun yang lalu Yesus datang ke dunia tanpa memiliki apa-apa bahkan tempat untuk kelahiranNyapun tidak ada, namun sekelompok domba ini bisa memberikan tempat mereka. Kalau saja kita punya kasih dan perhatian untuk sesama manusia, maka kita juga bisa melakukan itu.

Ada sebuah illustrasi : Adalah seorang tukang sepatu yang bernama Martin Avdeich, dia tinggal di satu apartemen bawah tanah dengan satu jendela kecil. Dari jendela itulah dia bisa melihat orang yang lalu lalang dari kakinya. Martin yang karena pekerjaannya sebagai tukang sepatu, tidaklah sulit buat dia mengenali orang yang lalu lalang itu dari sepatu yang dipakainya. Martin adalah pekerja keras, dia tidak pernah menipu pelanggannya, dia selalu menggunakan bahan terpilih untuk membuat sepatu, dia juga selalu tepat janji, pendek kata Martin selain pekerja keras juga pekerja yang baik.
Martin pernah mengalami kekecewaan dengan Tuhan saat istri dan anak-anaknya meninggal, di tengah kekecewaannya dia pernah minta supaya Tuhan juga memanggilnya, karena dia sudah tidak melihat arti hidupnya ini. Di saat keadaan yang paling susah itulah dia bertemu orang yang mengingatkan kalau Tuhan sudah memberinya hidup, dan mengingatkan Martin bahwa hidupnya harus diberikan kepada Tuhan. Di tengah ketidak mengertiannya dan usahanya bagaimana caranya memberikan hidup untuk Tuhan, tiba-tiba dia bermimpi, mendengar suara Tuhan, "Martin ... Martin .. berjaga-jagalah Aku akan datang ke tempatmu esok".

Besoknya Martin menanti-nanti. Kadang-kadang ia berpikir suara itu hanya mimpi, kadang-kadang ia meyakini ia benar-benar mendengar suara itu. Martin duduk di samping jendelanya sambil bekerja. Tiap kali dia menatap ke jalan menunggu Tuhan datang. Akhirnya dari jendelanya Martin melihat orang berpakaian usang, dengan sepatu penuh jahitan dan sebuah sekop di tangan. Dari sepatunya Martin tahu bahwa orang tua itu Stephanich, orang miskin yang menumpang di rumah orang lain dan melakukan pekerjaan-pekerjaan kecil seperti membersihkan salju. Ia mulai membersihkan salju di depan jendela Martin. Martin mengamati Stephanich sampai Stepanich meletakkan sekop, dan kelihatan menggigil mencari tempat istirahat dan berlindung dari hawa dingin. Orang tua ini kelihatan sangat rapuh. Martin mengundangnya masuk. Stephanich begitu gemetar sampai hampir jatuh waktu masuk. "Masuklah ke dalam dan aku punya teh hangat," demikian seru Martin kepada Stepanich. Stepanich yang ragu-ragu masuk ke rumahnya bertanya apakah Martin sedang menunggu seseorang? Martin menjawab, "Saya sebenarnya malu untuk mengatakan pada anda bahwa memang saya sedang menunggu Tuhan, seperti yang saya pahami melalui Alkitab bahwa betapa betapa besar kasih Tuhan sampai Dia mau turun ke bumi". Begitulah Martin bukan hanya memberikan teh tetapi juga bagian makan siangnya yang sangat sederhana. Stephanich pamit dengan air mata di pipi karena rasa terimakasihnya yang dalam.

Martin menunggu lagi. Berbagai orang lewat lalu lalang. Tuhan belum juga muncul. Sampai dilihatnya seorang wanita miskin dengan bayinya. Wanita ini hanya berpakaian musim panas, wanita ini tidak punya uang untuk menebus syal nya yang digadaikan. Martin bangkit dan memanggil wanita itu untuk masuk kerumahnya. Martin menyambut wanita dan bayinya ini. Memasak bubur untuk bayi itu dari persediaannya yang tipis dan memberikan uang kepada wanita itu supaya ia bisa menebus syal yang dia gadaikan untuk memberi makan bayinya. Ia juga memberikan satu-satunya mantel cadangannya yang juga sudah tua dan benangnya yang sudah menipis. Wanita miskin tersebut mengambil pemberian Martin dengan air mata yang berlinang.

Martin, duduk lagi. Hari mulai sore. Dia makan sisa makanan yang masih tersedia, bekerja lagi. Tapi dia tetap berkali-kali memandang ke jalan. Menunggu dan menunggu datangnya Tuhan. Tidak lama seorang wanita tua penjual apel lewat. Punggungnya menggendong kayu bakar, dan tangannya menjinjing keranjang dagangan yang hanya berisi beberapa butir apel. Kayu bakarnya sangat berat sehingga ia berhenti, membetulkan gendongannya. Ia meletakkan keranjangnya di tanah. Tiba-tiba seorang anak laki-laki kecil lari dan mengambil beberapa apel. Tapi nenek ini dengan cekatan menjambret baju anak itu. Nenek itu menarik rambut anak kecil itu dan berteriak akan membawa dia ke kantor polisi. Martin meminta-minta agar si nenek tidak membawa anak itu ke polisi. Martin akan membayar apelnya. Akhirnya nenek melepaskan pegangannya dan anak itu langsung melarikan diri. Martin menangkapnya dan berkata, "Mintalah maaf kepada nenek itu, dan saya tidak ingin melihat engkau mengambil apelnya lagi". Anak itu minta maaf. Malahan dia menawarkan diri mengangkat kayu bakar si nenek. Mereka berjalan berdampingan.

Martin menunggu lagi. Hari mulai malam. "Tampaknya hari sudah gelap", pikir Martin. Dia membersihkan peralatannya. Menyalakan lampu. Mengambil Alkitabnya. Dan dia merenung menantikan Tuhan. Tetapi sudah malam., apakah Tuhan masih akan datang? Martin kembali merenung akan mimpinya yang mendengar suara Tuhan, kalau Dia akan datang kerumahnya... Tiba -tiba dia mengalami situasi yang sama dalam mimpinya, dia mendengar lagi suara yang berkata di telinganya "Martin ... Martin, apakah kamu tidak mengenal aku?"
"Siapa?" tanya Martin ,
"Aku", jawab suara itu. Di tengah kegelapan malam Martin melalui kaca jendelanya samar-samar melihat Stephanich yang tersenyum.
"Ini adalah Aku", terdengar ada suara itu lagi, dan Martin sama-samar melihat wanita tua dan bayinya dan lenyap.
"Ini adalah Aku", terdengar suara lagi, dan Martin samar-samar melihat wanita tua dan apelnya bersama dengan anak laki-laki.

Melihat itu jiwa Martin gembira karena dia teringat apa yang tertulis di Alkitabnya, "Sebab pada waktu Aku lapar, kamu memberi Aku makan, dan pada waktu Aku haus, kamu memberi Aku minum. Ketika Aku seorang asing, kamu menerima Aku tumpangan. Ketika Aku tidak berpakaian, kamu memberi Aku pakaian. Ketika Aku sakit, kamu melawat Aku. Ketika Aku dipenjarakan, kamu mengunjungi Aku."

Impian Martin menjadi kenyataan, Tuhan memang sudah datang dan makan bersamanya hari itu. Martin akhirnya boleh mengerti, "Ketahuilah: waktu kamu melakukan hal itu, sekalipun kepada salah seorang dari saudara-saudara-Ku yang terhina, berarti kamu melakukannya untukKu."

Jikalau 2000 tahun yang lalu Tuhan hadir ke dunia dalam bentuk bayi Yesus, saat ini Tuhan bisa hadir di antara kita melalui orang -orang di sekitar kita, bukalah pintu hati kita, sama seperti Martin Avdeich yang selalu menyambut hangat sesamanya.
Itulah sebabnya milikilah kasih dan perhatian terhadap sesama, bukalah hati dan berikan tempat untuk jiwa-jiwa yang membutuhkan jamahan kasih Tuhan sehingga orang-orang di sekitar kita juga akan merasakan makna kasih Natal, sehingga merek bisa merasakan kasih Tuhan yang begitu besar.

--
Apakah Tuhan itu ada?

Ada seorang pemuda yang lama sekolah di negeri paman Sam kembali ke tanah air. Sesampainya dirumah ia meminta kepada orang tuanya untuk mencari seorang Guru agama, pendeta atau
siapapun yang bisa menjawab 3 pertanyaannya. Akhirnya Orang tua pemuda itu mendapatkan orang tersebut.
Pemuda: Anda siapa? Dan apakah bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan saya?
Pendeta : Saya hamba Allah dan dengan izin-Nya saya akan menjawab pertanyaan anda
Pemuda: Anda yakin? sedang Profesor dan banyak orang pintar saja tidak mampu menjawab pertanyaan saya.
Pendeta : Saya akan mencoba sejauh kemampuan saya
Pemuda: Saya punya 3 buah pertanyaan
1. Kalau memang Tuhan itu ada, tunjukan wujud Tuhan kepada saya
2. Apakah yang dinamakan takdir
3. Kalau setan diciptakan dari api kenapa dimasukan ke neraka yang dibuat dari api,tentu tidak menyakitkan buat setan Sebab mereka memiliki unsur yang sama. Apakah Tuhan tidak pernah berfikir sejauh itu?
Tiba-tiba Pendeta tersebut menampar pipi si Pemuda dengan keras.
Pemuda (sambil menahan sakit): Kenapa anda marah kepada saya?
Pendeta : Saya tidak marah...Tamparan itu adalah jawaban saya atas 3 buah pertanyaan yang anda ajukan kepada saya
Pemuda: Saya sungguh-sungguh tidak mengerti
Pendeta : Bagaimana rasanya tamparan saya?
Pemuda: Tentu saja saya merasakan sakit
Pendeta : Jadi anda percaya bahwa sakit itu ada?
Pemuda: Ya
Pendeta : Tunjukan pada saya wujud sakit itu !
Pemuda: Saya tidak bisa
Pendeta : Itulah jawaban pertanyaan pertama: kita semua merasakan keberadaan Tuhan tanpa mampu melihat wujudnya.
Pendeta : Apakah tadi malam anda bermimpi akan ditampar oleh saya?
Pemuda: Tidak
Pendeta : Apakah pernah terpikir oleh anda akan menerima sebuah tamparan dari saya hari ini?
Pemuda: Tidak
Pendeta : Itulah yang dinamakan Takdir
Pendeta : Terbuat dari apa tangan yang saya gunakan untuk menampar anda?
Pemuda: kulit
Pendeta : Terbuat dari apa pipi anda?
Pemuda: kulit
Pendeta : Bagaimana rasanya tamparan saya?
Pemuda: sakit
Pendeta : Walaupun Setan terbuat dari api dan Neraka terbuat dari api, Jika Tuhan berkehendak maka Neraka akan Menjadi tempat menyakitkan untuk setan.

--

Anak padang gurun

pengarang : AO


Pada waktu bangsa Israel keluar dari tanah Mesir menuju tanah Kanaan yang dijanjikan Allah. Tuhan membuat bangsa yang bebal itu berputar-putar di padang gurun supaya iman mereka semakin dimurnikan.Tapi pada akhirnya hampir sebagian besar gagal dan hanya anak-anak yang lahir dipadang gurunlah yang akhirnya menikmati negeri perjanjian yang dijanjikan oleh Allah selama ini.

Mengapa harus anak-anak yang lahir di padang gurun?

Mereka adalah generasi yang tak pernah menikmati kehidupan tanah Mesir (Mesir menggambarkan dunia). Bisa jadi orang tua mereka banyak bercerita tentang negri itu. Anak-anak itu hanya dapat membayangkan tapi tidak tahu keadaan negri itu. Sejak lahir mereka sudah terbiasa dengan kehidupan nomaden dipadang gurun yang tandus.

Sejauh mata memandang,cuma pasir, pohon kaktus. Mungkin sesekali mereka bertemu dengan oase, atau berkali-kali melihat fatamorgana, dan mereka juga sudah terbiasa hidup mengandalkan Tuhan.

Bayangkan saja, mulai dari soal makanan, minuman sampai peperangan yang dihadapi, mereka sudah terbiasa melihat otoritas Ilahi dalam diri Musa, sang pemimpin.

Jadi yang mereka tahu Cuma satu : semua karena Tuhan! Itulah anak-anak “Padang Gurun”

Secara tidak langsung mereka mengalami didikan ilahi yang cukup kuat dari Allah. Disaat anak-anak lain bermain-main dan bermanja-manja dengan orang tua mereka dengan berbagai mainan yang bagus, anak-anak “padang gurun” harus belajar taat pada otoritas.

Bayangkan, diusia anak-anak mereka sudah pandai membantu orang tuanya bongkar pasang tenda. Mereka sudah terbiasa melakukan perjalanan jauh dengan berjalan kaki dipadang gurun yang tandus.

Tapi Tuhan tidak pernah main-main dengan umat pilihanNya. Orang-orang yang akan menikmati janji besar bukanlah orang sembarangan tapi orang orang yang harus memiliki kualitas hidup yang tinggi dihadapan Allah dan manusia, dan Allah tidak pernah menetapkan kualitas yang “biasa” dengan orang-orang pilihanNya.

Kalau dunia saja menetapkan standar tinggi untuk orang-orang pilihan, apalagi Allah.

Sudah waktunya bagi anak-anak Tuhan untuk meningkatkan diri, bukan hanya hal-hal duniawi saja, tapi juga kerohanian.

Kita harus terus maju ketingkat yang lebih tinggi lagi. Apapun yang kita hadapi dan kerjakan saat ini, kita harus yakin kalau itu adalah salah satu tahapan dan langkah kecil untuk mencapai rencana Ilahi dalam hidup kita. Bukan hanya kita saja yang mengalami proses ini, tapi semua orang! .Contoh : Sebelum menjadi raja, Daud hanya seorang penggembala domba milik ayahnya, dia memulai karirnya saat menyanggupi permintaan Saul untuk mengalahkan Goliat. Kemudian menjadi seorang pemain kecapi di istana, selanjutnya dipercayakan menjadi kepala pasukan perang, Daud tetep mengabdi sebagai bawahan Saul sampai Allah sendiri yang mengangkat dia menjadi raja Israel(dari garis keturunan Daudlah, Mesias, sang juruslamat lahir). Karakter dan kepribadiannya terbentuk sempurna lewat hubungan dekatnya dengan Allah. Manusia tidak pernah memperhitungkan dia menjadi raja Israel, tapi Allah melihat kesempurnaan pribadi Daud.

Belajarlah seperti anak-anak Israel yang sudah mandiri, bergantung pada Tuhan, selalu berserah pada kehendak Tuhan, kemana Tuhan akan membawa mereka dan terus percaya akan kemahakuasaan Allah dalam hidup mereka.

Cara agar kita tetap bisa menjaga kualitas hidup yang benar dihadapan Tuhan :

Kita harus terus memberi diri untuk bertumbuh, kita harus memiliki iman, berusaha untuk hidup stabil dihadapan Tuhan (mulailah dengan stabil membaca Firman Tuhan, stabil berdoa) dan berhubungan intim dengan Tuhan, dan terlebih lagi hiduplah didalam kebenaran dan jangan kompromi dengan dosa.

--

A Faithful Friend

A friend loves at all times, and a brother is born for adversity. —Proverbs 17:17

After one of my relatives had a stroke, she needed help to get around and could no longer remember recent events. One day, my wife Ginny suggested that we take her out to dinner. I wondered if we should, because afterward she wouldn't even remember what we had done. Ginny responded, "While we are with her she will know we love her." How true!

All of us need to know we are loved. I recall the answer I received when I asked a 90-year-old shut-in how his grandchildren were doing. He said, "I don't know. I never see them."

The apostle Paul was locked in a damp Roman dungeon, awaiting execution. He couldn't help but feel hurt that many former friends had deserted him. How grateful he was for the friendship of Onesiphorus!

This man left his family and an active ministry in Ephesus to befriend Paul. When he arrived in Rome, he searched diligently to find where Paul was imprisoned (2 Timothy 1:17). And he courageously visited the apostle again and again. Paul said of Onesiphorus, "He often refreshed me, and was not ashamed of my chain" (v.16).

Remember, "A friend loves at all times," especially in adversity (Proverbs 17:17). Like Onesiphorus, let's commit ourselves to being faithful to our friends.
— Herbert Vander Lugt

Someday I hope with you to stand
Before the throne, at God's right hand,
And say to you at journey's end,
"Praise God, you've been to me a friend." —Clark

Adversity is the test of true friendship.

-

Are we small yet?

Are We Small Yet?
“Do nothing from selfishness or empty conceit, but with humility of mind regard one another as more important than yourselves.” Philippians 2:3 NASB

Kids are great! Things that we take for granted are occasions for awe and wonder for them. And their perspectives are often convictingly right on.

Take, for instance, the little girl who loved watching the planes that took off from a nearby airport as she played in her backyard. From her point of view, planes literally got smaller and smaller the farther they flew away. Which explains the strange thing she said to her dad after he decided to take her on a business trip. Soon after taking off, she turned to her dad and said, “Daddy, are we small yet?”

That’s a really important—and challenging—question to ask ourselves. There is something about us that doesn’t like feeling small. It starts early. Any kid worth his salt will gladly throw up his arms and do the “so big!” routine when you ask him, “How big are you?” We may stop throwing up our arms, but we never really grow out of wanting to be “so big” in other people’s eyes. It’s amazing how quickly life gets to be all about who’s got the nicest house, the best job, the coolest car, the highest degree, the biggest diamond, or the best office on the executive floor. We are quick to defend ourselves to keep ourselves looking good. We like to draw attention to our accomplishments and turn conversations to focus on us, and we find ourselves a little put out when we are not noticed or invited to hang out with the “in” crowd.

For most of us, life is about anything but making ourselves small. We are the tall “I” in the middle of our universe.

And that’s a problem.

In Philippians 2:3-11, Paul tells us that we need to stop living to advance ourselves and our own interests and instead start considering others as more important than ourselves. In fact, he says that we should do nothing from “empty conceit”—which literally means the puffing up of our nothingness. I love the graphic picture in that thought. No matter how big you puff up a zero, it’s still a zero!

And then he points us to Jesus who didn’t consider his “big” standing in heaven a thing to hang on to, but rather He humbled himself to care for our interests by becoming obedient to death on the cross. Think of that! Jesus thought of us and our needs as being more important than His own! He made himself small that we by His abundant mercy might become big in the riches of His grace.

Let this mind be in you that was also in Christ Jesus!

Are you small yet?

--

Si tukang kayu

Seorang tukang kayu tua bermaksud pension dari pekerjaannya di sebuah perusahaan kontruksi real estate. Ia menyampaikan keinginannya tersebut kepada pemilik perusahaan. Tentu saja, karena tak bekerja, ia akan kehilangan penghasilan bulanannya, tetapi keputusan itu sudah bulat. Ia merasa lelah. Ia ingin beristirahat dan menikmati sisa hari tuanya dengan penuh kedamaian bersama istri dan keluarganya.

Pemilik perusahaan merasa sedih kehilangan salah seorang pekerja terbaiknya. Ia lalu memohon pada si tukang kayu tersebut untuk membuatkan sebuah rumah untuk miliknya.

Tukang kayu mengangguk menyetujui permohonan pribadi pemilik perusahaan itu. Tapi, sebenarnya ia merasa terpaksa. Ia ingin segera berhenti. Hatinya tidak sepenuhnya dicurahkan. Dengan ogah-ogahan ia mengerjakan proyek itu. Ia Cuma menggunakan bahan-bahan sekedarnya.

Akhirnya selesailah rumah yang diminta. Hasilnya bukanlah sebuah rumah baik. Sungguh sayang ia harus mengakhiri karirnya dengan prestasi yang tidak begitu mengagumkan.

Ketika pemilik perusahan itu datang melihat rumah yang dimintainya, ia menyerahkan sebuah kunci rumah pada si tukang kayu. “Ini adalah rumahmu“ katanya ”hadiah dari kami”. Betapa terkejutnya si tukang kayu. Betapa malu dan menyesal. Seandainya saja ia mengetahui bahwa ia sesungguhnya mengerjakan rumah untuk dirinya, ia tentu akan mengerjakannya dengan cara yang lain sama sekali. Kini ia harus tinggal di sebuah rumah yang tak terlalu bagus hasil karyanya sendiri.

Itulah yang terjadi dalam kehidupan kita. Kadangkala, banyak dari kita yang membangun kehidupan dengan cara yang membingungkan. Lebih memilih berusaha ala kadarnya ketimbang mengupayakan yang baik. Bahkan, pada bagian-bagian terpenting dalam hidup kita tidak memberikan yang terbaik. Pada akhir perjalanan kita terkejut saat melihat apa yang telah kita lakukan dan menemukan diri kita hidup di dalam sebuah rumah yang kita ciptakan sendiri. Seandainya kita menyadari sejak semula kita akan menjalani hidup ini dengan cara yang jauh berbeda.

Renungkanlah rumah yang sedang kita bangun. Setiap hari kita memukul paku, memasang papan, mendirikan dinding dan atap. Mari kita selesaikan rumah kita dengan sebaik-baiknya seolah-olah hanya mengerjakannya sekali saja dalam seumur hidup. Biarpun kita hanya hidup satu hari, maka dalam satu hari itu kita pantas untuk hidup penuh keagungan dan kejayaan.

Apa yang bisa diterangkan lebih jelas lagi. Hidup kita esok adalah akibat dari sikap dan pilihan yang kita perbuat di hari ini. Hari perhitungan adalah milik Tuhan, bukan kita, karenanya pastikan kita pun akan masuk dalam barisan kemenangan.

“HIDUP ADALAH PROYEK YANG KITA KERJAKAN SENDIRI”
--

Abandoned

Abandoned
“When the woman saw that the fruit of the tree was good for food and pleasing to the eye, and also desirable for gaining wisdom, she took some and ate it. She also gave some to her husband, who was with her, and he ate it.” Genesis 3:6

If you were ever a freshman in college, you may remember how cool you felt if an upperclassman showed some interest in you.

T. J. Evans lived across the hall from me my freshman year. He was a self-assured upperclassman with that I’ve-got-it-all-together swagger in his walk. It didn’t take long to realize that he was a big man on campus. So you can imagine how flattering it felt when he took an interest in the freshmen on our floor.

Well, take an interest in us he did. But we were soon to find out that he had a sinister agenda up his sleeve. After curfew, he would hang out with us and suggest brilliant pranks that we could pull off under the cover of darkness. He’d help us design the strategy and off we’d go, only to get caught and find ourselves in a lot of trouble. When we got caught, we always noticed that T. J. was nowhere to be seen. He had sent us off and stayed in his room taking great delight in seeing us freshmen end up in a heap of trouble. In retrospect, I can’t believe we let him do that to us—not just once but we were dumb enough to have it happen a lot! It’s the old, “Fool me once, shame on you; Fool me twice, shame on me!” routine.

When I think about it, T. J.’s delight in getting us in trouble is not much different than Satan’s interest in you and your life. He comes along with nifty schemes that look like fun—things he assures will make you happy, fulfilled, and satisfied. When someone hurts you, he has an I don’t get mad, I just get even strategy that makes you feel really good about not being taken advantage of. Instant trips into pleasure-land and debt-increasing spending sprees offer quick kicks of adrenalin. If you have a need, if you have a desire—believe me, he has a plan! But when you execute his strategy, he’ll be nowhere to be found. He won’t be there to deliver on his promise that you will be happy and fulfilled. He won’t even have the decency to help you pick up the pieces and to apologize for messing up your life. In fact, all the time he had a sinister agenda up his sleeve! He loves to see our lives complicated with shame, guilt, and regret. He is the master of ruined lives. As Peter warns us, he’s on the prowl looking for someone he can devour (1 Peter 5:8)!

We should have known. When he lured Adam and Eve with an offer they found hard to refuse, he didn’t stay around to make good on his promise but slithered off leaving them fearful, ashamed, and full of regret. And that strategy was so good that he continues to find it useful in your life and mine thousands of years later.

Peter Berger said it well when he wrote:

He who sups with the devil had better have a long spoon, because he who sups with the devil will find that his spoon gets shorter and shorter until that last supper in which he is left alone at the table with no spoon at all and an empty plate. But the devil, one may guess, will have then gone on to more interesting company.

Fool us once, shame on Satan! Fool us twice, shame on us!

YOUR JOURNEY…

Think about a specific time when you fell to a suggestion of Satan in your life. Which of the following did you experience in the aftermath of your decision: Shame? Regret? Guilt? All of the above?
Is there a plan of Satan that you consistently fall for? Why?
Select an area of your life where you repeatedly fail and find Scriptures that address the issue. What plan can you put in place so that you’re not fooled by Satan in that area again?

--

Sabar dan bodoh

Konon di Tiongkok pernah hidup seorang hakim yang sangat dihormati karena tegas dan jujur. Ia memutuskan setiap perkara dengan adil, tanpa pandang bulu. Suatu hari, dua orang menghadap hakim tersebut. Mereka bertengkar hebat dan nyaris beradu fisik. Keduanya meminta keputusan atas kasus mereka yang sebenarnya sangat sepele.

Keduanya berdebat tentang hitungan 3x7. Yang satu mengatakan hasilnya 21, yang lain bersikukuh mengatakan hasilnya 27. Ternyata sang hakim memvonis hukuman cambuk 10x bagi orang yang menjawab benar. Spontan si terhukum protes.

Sang hakim menjawab, "Kamu bodoh, mau-maunya berdebat dengan orang orang bodoh yang tidak tahu kalau 3x7 adalah 21!"
Kalau ada orang berbeda pendapat dengan kita, katakan pada diri sendiri bahwa dia belum mengerti, lalu bersabarlah. Karena kesabaran artinya membantu dia mengerti dan menyerahkan dia kepada Tuhan

Yang bisa saya ambil dari cerita ini adalah bahwa jika kita sibuk memperdebatkan sesuatu yang tidak berguna, artinya kita sama salahnya atau bahkan lebih salah daripada orang yang memulai perdebatan. Sebab dengan sadar kita membuang waktu dan energi untuk sesuatu yang sebenarnya tidak perlu.

Berlaku benar adalah sebuah pilihan. Meskipun kita tidak bisa dengan mudah mengubah perasaan kita mengenai masalah yang kita hadapi, kita masih tetap bebas untuk memilih tindakan yang benar.

--

Kuasa dibalik ucapan syukur

1 Tesalonika 5:18 berkata :"Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu."
Kata "Mengucap syukur" ini mungkin sering kita dengar dari pendeta, teman-teman seiman, orang tua atau dari kerabat dan sahabat kita disaat kita sharing mengenai keadaan sulit yang kita alami kepada mereka. Dan mungkin kita pernah mangabaikan begitu saja dengan dua kata yang sederhana ini. Padahal kata ini disampaikan Paulus kepada jemaat di Tesalonika yang notabene mereka adalah penyembah-penyembah berhala, yang kemudian oleh pemberitaan Injil yang disampaikan Paulus, Silwanus dan Timotius, akhirnya mereka melayani Allah yang hidup dan benar( I Tes.1:9). Artinya kata "Mengucap syukur" tidak bisa diremehkan begitu saja. Karena ada dampak yang sangat luar biasa bagi orang yang mengucapkan kata-kata ini dengan sepenuh hati.

Ada beberapa hal luar biasa akan dialami bagi orang yang selalu mengucap syukur dalam segala hal :
Ia akan menjadi kuat dalam ketaatan kepada Pemimpin dan Tuhan sekalipun dalam keadaan tertindas. ( I Tesalonika 1:6 )
Ia akan mendapatkan pelipat gandaan materi dari Tuhan secara ajaib pada I saat membutuhkan pertolongan yang mustahil secara manusia. ( Yohanes 6:11-12 )
Kalau jemaat di Tesalonika diberikan kekuatan yang sangat luar biasa untuk melayaninNya dengan benar dan Tuhan Yesus melakukan hal yang mustahil hanya dengan mengucap syukur Ia membagi 2 Roti dan 2 Ikan untuk memberi makan 5000 laki-laki belum termasuk wanita dan anak-anak dan yang lebih luar biasa lagi, mereka makan sampai kenyang dan menghasilkan sisa 12 bakul. bagaimana dengan kita?

Mari jangan anggap remeh dengan Kata 'Mengucap syukur" ini. Memang dua kata ini sangat sederhana, tetapi dibalik kata yang sederhana ini, ada satu kekuatan Allah yang sangat luar biasa dan tidak ada tandingannya diseluruh muka bumi. Makanya jangan kita terkecoh oleh tipu daya Iblis yang berusaha untuk mengalihkan hati,pikiran dan perkataan kita dari Dua kata yang sederhana ini. Apapun keadaan yang Tuhan ijinkan dalam hidup kita, baik dalam keadaan susah, terjepit, tertindas, terintimidasi, dalam pergumulan besar,kekurangan, sakit, lemah, putus asa, banyak hutang dan hal-hal yang tidak enak dalam hidup ini secara daging. Mari belajar "Mengucap Syukur". Percayalah Anda akan menikmati berkat Allah yang sangat luar biasa, bahkan apa yang belum pernah anda lihat dan anda pikirkan bahkan belum pernah timbul dalam hati anda, maka itu yang akan Allah berikan bagi hidup anda. Amin...

SELAMAT BELAJAR DAN MENIKMATI, TUHAN YESUS MEMBERKATI ...

--
Trash Talk

“The tongue also is a fire, a world of evil . . . . It corrupts the whole person, sets the whole course of his life on fire, and is itself set on fire by hell.” James 3:6

One morning when I was pulling out of our driveway on my way to work, I noticed that someone had thrown a beer can on our lawn. I picked it up, tossed it into our garbage can and drove away without giving it much thought.

A little further down the road, the thought hit me: What will the garbage man think when he sees a beer can tumble out of the minister’s trash can? I suppose, if my trash can could have talked, it would have set the garbage man straight. But unfortunately, trash cans don’t say much these days. So, my reputation was left to whatever the sanitation engineer would conclude. And while beer cans in your trash may not be the worst thing that could happen, I wondered what would have been the conclusion if a neighbor boy had dumped his porn magazines into our garbage?

We have all jumped to a conclusion about somebody without knowing all the facts, only to hear the rest of the story and then feel terrible about what we have said about that person to others. To make matters worse, there is no way that we can retrace all our false information to rescue the victim’s reputation. No wonder James warns, “The tongue is a fire, a world of evil.”

When we draw conclusions quickly—without careful consideration of the consequences and risks, we stoop to the level of tabloid reporting. We carelessly trash valued reputations and do irreparable damage. This lethal habit of our tongues is called the sin of beguilement—the sin of drawing wrong conclusions and then passing them on.

Avoiding this kind of “trash talk” means that we refuse to make any firm conclusions until the facts are in. When in doubt, go to the person for clarification. If your conclusions are true, you can help them repent and lead them lovingly to recovery. If they are not true, you can stick up for them if others are spreading beguilement about them. And, when someone comes to you with some “trash talk” about another person, be quick to ask, “Do you know that for sure?” Tell them that you really don’t want to know about the situation until you both can be certain about the facts. Encourage them to go directly to the person before they say anything else to others.

Reputations are too important to throw in the trash. I’m a raving fan of protecting people in love rather than getting some sort of sick joy out of speaking poorly about others. After all, Scripture tells us that “Love covers over a multitude of sins” (1 Peter 4:8)!

--

Forgiven

A little boy had just been tucked into bed by his mother, who was waiting to hear his prayers. But he had been naughty that day, and now it was bothering him. So he said, "Mama, I wish you'd go now and leave me alone. I want to pray by myself."

Sensing that something was wrong, she asked, "Bobby, is there anything you ought to tell me?" "No, Mommy," he replied. "You would just scold me, but God will forgive me and forget about it."

That little boy understood one of the greatest salvation benefits of all—the reality of sins forgiven. The Bible indicates that in Christ "we have redemption through His blood, the forgiveness of sins" (Col. 1:14). We who have received the Lord Jesus as Savior enjoy freedom from sin's eternal condemnation (Rom. 8:1), and we can also have daily forgiveness and cleansing (1 John 1:9).

The apostle Paul said that salvation provides these added benefits: we are justified (Rom. 3:24), and we are at peace with God (5:1).

We should never get the idea that our sins are taken lightly by the Lord. But when we acknowledge our guilt with true repentance, God is ready to forgive because of what Jesus did on the cross. It's up to us to accept it. — Richard De Haan

Were the whole realm of nature mine,
That were a present far too small:
Love so amazing, so divine
Demands my soul, my life, my all.

When God forgives a sin, He never brings it up again.

--

Return on Investment

You were bought at a price; therefore glorify God in your body and in your spirit. —1 Corinthians 6:20

Long before the US professional baseball season begins each spring, team owners and managers are busy negotiating trades and contracts. They'll pay large sums of money to get the athlete who will help them win the championship. When the season starts, all eyes are on the newly acquired talent to see if he was worth the cost. The ultimate measure of the player's success is whether his contribution to the team is a good return on the investment.

In 1 Corinthians 6:20, Paul reminds us that we too have been "bought at a price." The context paints a compelling picture of Christ's great sacrifice. He liberated us from the cruel slavemaster of sin by buying us with the high price of His own life.

Getting a grip on God's great and loving investment in us should motivate us to gladly consider making His sacrifice rich in dividends. How is that return on His investment measured? By living to bring glory to Him! Our eyes, hands, feet, thoughts, dreams, and desires have been purchased to reflect the wondrous glory of God's will and wisdom. In other words, we are no longer our own.

Paul concluded, "Therefore glorify God in your body" (v.20). Living to reflect His glory is the return on investment that makes the Owner of our lives look good! — Joe Stowell

Redemption's price our Savior paid
When all our sins on Him were laid;
He took our guilt, He bore our shame
That we may glorify His name.


Our choice to bring glory to God yields a great return on Christ's investment.

--

What's in a Name?

“You shall not misuse the name of the Lord your God, for the Lord will not hold anyone guiltless who misuses his name.” Exodus 20:7


There are a lot of fun events associated with being a pastor. And while great food at church dinners and getting invited to cool events with people in your church are near the top of the list, there may be nothing that quite compares to sharing some great moments with people—like the birth of babies. But in the joy of it all, there is a problem.

When you arrive at the hospital, you encounter a weary, but thrilled, couple who hand you this tightly wrapped little bundle and then impose on you a serious ethical dilemma. Of course, you are supposed to say, “Oh, my goodness, what a pretty little girl,” or “What a handsome little boy!” The reality is that I’ve never seen a child fresh out that looks anything like handsome or pretty. (Come to think of it, I have seen three really beautiful babies.)

But once I get past the ethical dilemma by saying something like, “My, isn’t she precious,” the conversation ultimately morphs into an easier realm of interaction regarding the child’s name: “What’s the baby’s name?” . . . “That’s a great name. What does it mean?” The answers vary:

“Oh, it’s his grandfather’s name.”

“Her name means ‘Father’s delight’” or,

“We have no idea; we just chose it from a baby book!”

For most of us, names are relatively insignificant. They are easily changed into nicknames and serve basically to distinguish us from Bob or Ted. But if we look at God’s view of names in the same way, we may have trouble understanding what the big deal is about God’s name. Why would He include the importance of His name in His top-10 list of “Thou Shalt Nots”? How could diminishing His name rank up there with murder, stealing, and adultery?

It doesn’t take much digging through the Bible to realize that names are important to God. Think about Genesis, when God was often giving new names to the main characters—Abram became Abraham, Sarai became Sarah, Jacob became Israel. Each change signaled a statement from God about that individual’s character and his or her place in His plan. It wasn’t about God giving a nickname, it was about God assigning identity and worth to these individuals through the meaning of their name.

Most importantly, names are one of God’s key means of revealing His own identity and worth. He reveals His identity when He tells Moses that He is named “Yahweh,” which means, “I Am.” It means that He is eternally existent. He also identifies Himself as “Elohim,” the Almighty God, the God of great power. His names are who He is, not just what we call Him.

God’s names also describe His worth. You may be familiar with names like “Jehovah-Jireh,” meaning that He is the God who will provide. Or “El-Shaddai,” which means that He is completely sufficient. There are, in fact, 210 different names of God throughout Scripture, adding incredible richness and depth to our understanding of God’s identity, worth, and character.

Which is exactly why He takes it so seriously when we degrade His name by using it as though it weren’t sacred and lowering it to mere casual conversation as though it were ordinary. The exclamation, “Oh my God” should be an urgent prayer, not a verbal exclamation point. When we lower the name of God to drag it through a moment of anger or to use it to intimidate or manipulate, we have taken God Himself and lowered Him from His holy position. His name is intrinsically locked into who He is and what He is like. To put it simply, when we hit on His name, we have hit on Him. No wonder He is offended.

So, what’s in a name? If you’re talking about God, the answer is everything!

--

The Ministry of the Inner Life

You are . . . a royal priesthood . . . —1 Peter 2:9

By what right have we become "a royal priesthood"? It is by the right of the atonement by the Cross of Christ that this has been accomplished. Are we prepared to purposely disregard ourselves and to launch out into the priestly work of prayer? The continual inner-searching we do in an effort to see if we are what we ought to be generates a self-centered, sickly type of Christianity, not the vigorous and simple life of a child of God. Until we get into this right and proper relationship with God, it is simply a case of our "hanging on by the skin of our teeth," although we say, "What a wonderful victory I have!" Yet there is nothing at all in that which indicates the miracle of redemption. Launch out in reckless, unrestrained belief that the redemption is complete. Then don’t worry anymore about yourself, but begin to do as Jesus Christ has said, in essence, "Pray for the friend who comes to you at midnight, pray for the saints of God, and pray for all men." Pray with the realization that you are perfect only in Christ Jesus, not on the basis of this argument: "Oh, Lord, I have done my best; please hear me now."

How long is it going to take God to free us from the unhealthy habit of thinking only about ourselves? We must get to the point of being sick to death of ourselves, until there is no longer any surprise at anything God might tell us about ourselves. We cannot reach and understand the depths of our own meagerness. There is only one place where we are right with God, and that is in Christ Jesus. Once we are there, we have to pour out our lives for all we are worth in this ministry of the inner life.

--

Price Tags

Price Tags
“I consider everything a loss compared to the surpassing greatness of knowing Christ Jesus my Lord.” Philippians 3:8

You may have heard the story about the pranksters who broke into a hardware store. Strangely enough, they didn’t steal a thing. Yet what they did created chaos of epic proportions—they switched all the price tags!

The store owner was unaware of anything amiss until the first customer stepped to the cash register with a hammer that rang up at $199.95. Naturally, the customer’s jaw dropped. “What’s that thing made of?” he demanded. “Platinum?”

On further inspection, employees noticed that a big screen TV in the appliance section was selling for $14.95. The goods were all the same, resting on the same shelves as the night before, but the assigned values were hopelessly jumbled.

I can’t help but think that Satan likes to pull the same stunt with us. Unaware of his stealth work, we go through life with mixed-up price tags on our accomplishments and accolades. We assign the wrong value to who we are and what we have—not to mention the lack of value we assign to God who unequivocally deserves the highest value.

Paul had the price tags right when he wrote to the Philippian believers: “The very credentials these people are waving around as something special, I’m tearing up and throwing out with the trash—along with everything else I used to take credit for. And why? Because of Christ. Yes, all the things I once thought were so important are gone from my life. . . . I’ve dumped it all in the trash so that I could embrace Christ and be embraced by Him” (Philippians 3:7-8, The Message).

There’s Paul at the cash register, looking at all the price tags attached to his experiences, achievements, and treasures. He’s got a red pen in his hand, and all those things that used to be so valuable, so precious, so terribly important to him have been slashed down to zero. In fact, Paul’s loading them up in boxes, headed for the dumpster out back.

I find it interesting that this same Paul who once assigned no value to Jesus at all—and in fact hated Him—now can’t even put a price on the privilege of experiencing Him. After his unforgettable personal encounter with the living Christ (Acts 9), Paul’s whole world was reordered, and he never looked back. The value of his relationship with Jesus became “priceless.” What’s more, he lived like he really meant it.

And for us, it’s more than just giving mental or verbal assent to the “surpassing value” of knowing Jesus. Many of us have been doing that for a long time—and then we go on to live like He is eighth or ninth on the list. Unfortunately in this glitz-and-glamour world, we are far too prone to place great value on all that is temporal and seductive. And believe me, we pay a high price for that. It means that we miss out on the most valuable asset of all—the joy of a deep, abiding relationship with the only One who can meet all of our needs and fill us with His joy. His invitation still stands: “Seek first his kingdom and his righteousness, and all these things will be given to you as well” (Matthew 6:33).

Find time for Him and make His will and His ways your greatest treasure! For what you value will capture your heart (6:21)!

--

Challenge or Chance?

Apa yang membedakan seorang pemenang dengan seorang pecundang? Ketika dua belas pengintai dikirim Musa untuk mengintai Tanah Perjanjian (Bilangan 13), mereka kembali dengan laporan yang berbeda. Sepuluh orang menyampaikan berita negatif dengan mengatakan bahwa negeri tersebut penuh dengan raksasa pemangsa manusia. Mereka merasa diri mereka seperti belalang yang tidak berdaya. Hanya Yosua dan Kaleb yang menyampaikan berita positif bahwa bersama Tuhan mereka bisa mengalahkan penduduk asli dan merebut Tanah Perjanjian.

Kedua belas pengintai melihat negeri yang sama. Mereka semua mengakui kesuburan Tanah Perjanjian, mereka sama-sama melihat penduduk asli negeri tersebut, tetapi mereka menyampaikan kabar yang sama sekali berbeda.

Seorang pemenang selalu melihat adanya kesempatan dalam setiap tantangan. Seorang pecundang selalu melihat masalah atau tantangan dalam setiap kesempatan.

“You don’t see what you actually see, but you see what you wanna see. If you’re a winner, you always see chances because that’s all you wanna see.”

Anda tidak melihat yang sebenarnya terlihat oleh mata jasmani Anda, tetapi Anda melihat apa yang ingin Anda lihat. Jika Anda seorang pemenang, Anda akan selalu melihat kesempatan demi kesempatan karena memang itulah yang Anda ingin lihat. Sebaliknya, jika Anda seorang pecundang, maka yang selalu Anda lihat adalah kendala, penghalang, tantangan dan alasan.

Seorang leader pernah berkata, “Kalau Anda ingin maju, jangan pernah punya alasan. Kalau Anda punya segudang alasan Anda tidak akan pernah maju.”

Ada lima D yang perlu dimiliki untuk mengubah tantangan menjadi kesempatan.

D - Desire (Keinginan)
Apakah Anda punya keinginan untuk mengalami kemajuan? Apakah Anda cukup puas dengan keadaan Anda selama ini? Alkitab mengajarkan untuk mengucap syukur dalam segala keadaan, tetapi Alkitab juga mengajarkan untuk meminta apa yang kita inginkan dari Tuhan (Yohanes 16:24). Sebelum Tuhan Yesus menyembuhkan Bartimeus yang buta, Ia bertanya “Apa yang kamu inginkan supaya Aku perbuat bagimu?” Apakah Anda punya keinginan?

D - Decision (Keputusan)
Salah satu kesulitan yang sering dihadapi banyak orang adalah masalah pengambilan keputusan. Sesungguhnya, banyak orang yang tidak berani mengambil keputusan karena tidak bersedia memikul tanggung jawab atau akibat yang mungkin timbul akibat keputusan yang diambilnya. Mereka yang maju adalah mereka yang berani mengambil keputusan, mengambil langkah awal dan keluar dari zona kenyamanan. Ketika Petrus menyatakan keinginannya untuk berjalan di atas air kepada Yesus, maka ia harus mengambil keputusan untuk mengayunkan langkah pertamanya di atas air ketika Yesus mengundangnya. Setiap keputusan selalu ada resiko, tetapi keberanian menghadapi resiko tersebut yang membuat seseorang menjadi lebih dewasa.

D - Drive (Dorongan)
Keputusan yang telah kita ambil harus diikuti dengan langkah-langkah realisasi. Jika tidak ada, tidak lebih dari sekedar berjalan di tempat. Apakah Anda sudah menetapkan langkah-langkah yang harus diambil sesuai dengan keputusan Anda? Apakah setiap hari Anda melangkah ke arah yang sudah Anda putuskan sebelumnya? Apakah setiap kegiatan Anda sudah sejalan dengan cita-cita, keinginan, atau mimpi Anda?

D - Determination (Tekad)
Setelah kita melangkah, biasanya akan timbul tantangan. Akan ada arus yang melawan arah perjalanan kita. Saat-saat seperti itu dibutuhkan tekad yang bulat untuk tetap berjalan. Mereka yang berhasil adalah mereka yang memiliki tekad baja untuk tetap melangkah sekalipun ada badai yang menghadang. Ibrani 10:36 mengatakan bahwa kita “... memerlukan ketekunan....” Tekad yang kuat akan menolong kita untuk tetap tekun.

D - Discipline (Disiplin)

Selanjutnya, diperlukan disiplin untuk tetap melakukan hal-hal tertentu sekalipun daging kita menolaknya. Sebuah definisi yang bagus tentang disiplin adalah melakukan sesuatu yang perlu pada saat kita tidak ingin melakukannya. Seorang pengusaha terkenal mengatakan bahwa salah satu kunci sukses dalam usahanya adalah disiplin.


--

Percaya diri VS Penyerahan diri

Seorang teman lama saya yang dulunya pemalu dan minder, tiba-tiba berubah menjadi seorang pribadi yang sangat percaya diri dan berani bicara di depan orang banyak. Rupanya pelatihan kepemimpinan yang diikutinya telah mengubahnya dari seseorang yang memiliki kepribadian minder menjadi pribadi yang berani memimpin dan berbicara di depan orang banyak. Dia memang berubah menjadi seorang yang percaya diri tetapi saya menemukan dia juga telah berubah menjadi seorang yang angkuh. Perubahan seperti ini bukanlah perubahan karakter yang dihasilkan oleh pekerjaan Roh Kudus. Perubahan sejati yang dihasilkan oleh karya Roh pasti akan membuat karakter kita semakin serupa Kristus.

Cara manusia dan cara Tuhan dalam mentransformasi hidup seseorang sangatlah berbeda. Cara manusia mengubah kepribadian seseorang adalah dengan berusaha membangkitkan kepercayaan dirinya tetapi cara Tuhan justru dengan membuat kepercayaan kepada diri itu mati sehingga kita belajar bergantung kepadaNya. Dunia berkata “Kamu pasti bisa, berpikir positiflah” tetapi Tuhan berkata “Kamu tidak bisa mengandalkan kekuatanmu, menyerahlah dan bergantunglah kepadaKu.“ Bukti nyata dari karya Roh Kudus yang sejati dalam diri seseorang adalah perubahan karakter yang semakin rendah hati dan mengandalkan Tuhan.

Kebanyakan orang Kristen saat ini hanya ingin hidup enak, diberkati dalam hal materi dan kesehatan, sambil menunggu ajal untuk masuk ke surga.

Saya percaya saat ini merupakan waktunya bagi gereja Tuhan untuk berubah menjadi gereja yang memuridkan umat-Nya agar mereka berubah menjadi serupa karakter Kristus. Saya percaya saat ini Roh Kudus sedang bekerja untuk membawa kita kembali kepada kebenaran yang sejati. Gerejalah harapan satu-satunya agar bangsa ini bisa dipulihkan dari segala keterpurukan nya. Doa saya semoga sebuah kebangunan rohani yang sejati akan datang melawat kita semua sehingga kita berubah menjadi orang-orang Kristen yang sepenuhnya menyerah dan bergantung kepada Tuhan !

--
9 Tips memberi nama anak

Memberikan nama untuk anak itu susah-susah gampang. Salah-salah nama bisa jadi beban buat si Anak. Maka hati-hatilah dalam memberikan nama untuk anak tersayang. Karena nama akan disandang seumur hidupnya.

Nama itu mengandung doa.
Nama anak itu cermin harapan orang tua. Nama itu mengandung Doa.Tetapi doanya yang singkat-singkat saja. Kalau terlalu panjang nanti dikira lagi bernazar atau berkomitmen sama Tuhan. Kalau dipanggil bukannya nengok, malah bilang "Amiinn.."

Nama jangan nyusahin orang Kelurahan
Nama anak mudah dibaca dan mudah ditulis. Meskipun tampaknya bagus,jangan pakai huruf mati yang digandeng-gandeng atau didobel- dobel (mis. Lloyd,Nikky, Thasya dll). Biasanya sama petugas Kelurahan akan terjadi salah tulis dalam pembuatan Akta Kelahiran, Kartu Keluarga, KTP dll.Nah... nggak enaknya lagi kalo kita minta revisi biasanya kena biaya lagi... dan prosesnya lama lagi.

Nama jangan cuma satu kata
Minimal ada First Name, Nick Name dan Family name gitu loh.... Ini penting terutama kalo pas lagi ngurus Paspor atau Visa. Nggak jadi berangkat ke Amrik hanya gara-gara namanya cuma=20 Prakoso atau Pamuji atau Paryono khan esiaan...

Nama jangan terlalu panjang
Nama yang panjang bererot bisa bikin susah si pemilik nama. Disamping susah ngingetnya, juga ngerepotin waktu ngisi formulir pendaftaran masuk Perguruan Tinggi Negeri (dulu UMPTN). Itu lho..yang ngitemin buletan-buletan pakai pensil 2B. Capeek khaan... Nama panjang seperti Siti Hartati Riwayati Mulianingsih Adiningrum Mekar Berseri Sepanjang Hari.... adalah sangat-sangat not-recommended.

Nama anak bersifat internasional
Anak kita hidup dimasa depan, di era globalisasi dimana hubungan dengan dunia internasional amat sangat intens. Jadi jangan mempersulit anak dengan nama-nama yang sulit di-eja. Nama Saklitinov misalnya orang Jepang nyebutnya Sakuritino, orang Sunda bilang aktinop orang Amrik bilang Sechlaytinove... Syusah khaaannn Padahal maksudnya Sabtu Kliwon Tiga November...

Ketahuilah arti nama anak
Ketahuilah arti nama anak. Jangan memberikan nama hanya karena enak diucapkan atau bagus ditulisnya. Nama Jalmowono memang sepintas enak diucapkan dan bagus kalo ditulis tetapi ketahuilah bahwa Jalmowono itu artinya Orang Utan.

Jangan pakai nama artis.
Nama artis memang bagus-bagus, cuma masalahnya kalau artis itu kelakuannya baik... lha kalau jadi bahan gosip melulu khan jadi beban juga buat si anak. Lagian pakai nama artis itu tandanya anda gak kreatif dalam bikin nama.

Abjad huruf pertama nama anak.
Huruf pertama "A" pada nama anak ada enak gak enaknya. Gak enaknya kalau pas ada ujian/test/wawancara sering dipanggil duluan. Gak sempet nanya-nanya ama temannya. Tapi kadang-kadang juga pas giliran dapat pembagian apa gitu, dapetnya juga sering duluan. Sebaiknya ambil huruf pertama itu antara D sampai K. Cukupan lah... Huruf depan Z... wah.. biasanya adanya dibawah...

Jangan sok Kebarat-baratan
Jangan memberi nama anak dengan bergaya kebarat-baratan, biar dibilang keren. Kudu diinget, anda lahir dibumi Indonesia, orang Indonesia, kultur ya tetap orang Indonesia. Kalau nama keindo-indoan, tapi mukanya ya melayu-melayu juga, malu sendiri kan, anaknya ya ortunya.. Lagian kalo kejepit toh bilangnya "adawww...." bukan "Oh my God.."

--

Load Limits

“No temptation has seized you except what is common to man. And God is faithful; He will not let you be tempted beyond what you can bear. But when you are tempted, He will also provide a way out so that you can stand up under it” 1 Corinthians 10:13

“Daddy, can I help you?” It was my four-year-old son, Matt, who was watching me carry cartons of empty pop bottles to the car. Back then you could return them for a dime apiece, so after months of stacking them up in the garage, I was off to collect the cash bonanza.

I said, “Sure, Matt,” and he picked up a carton of bottles and put them in the car. When we got to the store, he grabbed his carton of bottles and shuffled along next to me across the big parking lot. About half way to the store, obviously exhausted, he looked up and said, “Dad, I can’t carry this anymore.”

Count on it, I didn’t say, “Listen, Kid, you started this, so pick up that carton right now and finish what you started!” Of course not!

I took the carton out of his hands, because I knew it was too heavy for him to handle. As his earthly father, I understood what his limits were and helped him carry the load.

Thankfully, our heavenly Father understands our load limit and comes alongside to help. It’s hard to stick it out during difficult times when the trouble in our lives seems far too heavy and there is no end in sight. It’s in times like these that we feel like giving up—like we can’t go on. But God’s Word reminds us that “God is faithful; He will not let you be tempted beyond what you can bear. But when you are tempted, He will also provide a way out so that you can stand up under it” (1 Corinthians 10:13). It’s important to note that this verse is talking about more than just bearing up under temptation. In the original Greek, the word temptation actually means “all kinds of trials.”

Ever feel like you’re in the middle of all kinds of trials? The problem with problems is that they have a tendency to drain us of our strength—physically, emotionally, and spiritually. And that’s when our adversary likes to launch his attack. When we’re weak, he haunts us with thoughts like: How could a loving God allow this to happen? and God has brought you to this place and has just left you here. Or, You’re beyond help—God can’t help you now. But when you start thinking these thoughts, you need to know that they are flat out lies from the pit. You can be sure that they don’t reflect God’s heart for you during difficult times.

In the Old Testament, one of God’s names is Jehovah Jireh—our provider—and He always lives up to His name. He stands ready to provide abundant grace so that we can bear up until He has finished His work in the trial (2 Corinthians 12:7-10). He gives us a peace that passes understanding as we trust and rely on Him with a grateful heart (Philippians 4:6-7). He gives wisdom to see our tough times from His point of view (James 1:5). He gives us the assurance that He will stick it out with us and not leave or forsake us, so that we can confidently say, “The Lord is my helper; I will not be afraid. What man can do to me?” (Hebrews 13:6).

So, chin up! Our troubles and trials have not escaped the notice of the One who comes alongside to help when it seems like the load is too much to bear.

The One who knows your load limit promises to limit your load!

--

Never Surrender!

“Finally, be strong in the Lord and in his mighty power.” Ephesians 6:10

The setting was England’s House of Commons in early June of 1940. Another World War had broken out and the prospects for Britain were uncertain at best. In the face of these bleak circumstances, Winston Churchill rose to address his people.

“We are told that . . . Hitler has a plan for invading the British Isles. . . . We shall fight on the beaches, we shall fight on the landing grounds, we shall fight in the fields and in the streets, we shall fight in the hills; we shall never surrender.”

I love the picture of a leader who is willing—in the midst of severe adversity—to stand up in front of his people and bolster their courage, giving them strength to fight another day. I think that gives us a good backdrop to consider Paul’s words to a young church in Ephesians 6.

Paul spends the first half of the book of Ephesians proclaiming and explaining glorious doctrinal truths to this young church. His writing enriches our knowledge about the blessings we have in Christ, the character and work of Jesus, and our new identity and responsibilities as His followers. His explanation of the gospel is part of our bedrock understanding of all that transpired when Jesus died for us on the cross.

In the latter half of the book, Paul, like any good preacher, outlines some very practical application steps in light of this glorious gospel. The work of Jesus should transform our ability to draw together in unity with those who proclaim His name. It will transform our speech and the use of our spiritual gifts. It will move us to relationships that demonstrate unconditional love through voluntary submission and self-sacrifice.

But Paul closes the book with a sobering warning. The Ephesians—and those of us who are following Jesus today—are in a battle. It’s not a flesh and blood, tanks and bullets kind of battle, but rather it’s a struggle “against the powers of this dark world and against the spiritual forces of evil in the heavenly realms” (6:12). There is a determined, deadly warfare being waged in the spiritual realm, and we are right in the middle of it.

The spiritual battle is often very visible to those serving in countries where people are oppressed and severely influenced by demonic powers. The battle there is obvious and intense.

But it is just as real and dangerous for those of us in less openly hostile environments. The enemy’s attack may involve the subtle seductions of greed, self-centeredness, sensuality, or the hollow pursuit of pride and pleasure. But whether frontal or subtle, it is a battle just the same and we still need the rally cry “be strong in the Lord and in his mighty power” and “take your stand against the devil’s schemes” (vv.10-11).

So we will fight his attacks on our marriages. We will fight his attacks on our children. We will fight his attacks on the church. We will fight his attacks on ethics and integrity. Because the good news is that Jesus Christ has already won on our behalf. We shall never surrender!

--

Cross Bearing

“Anyone who does not take his cross and follow me is not worthy of me.” Matthew 10:38

Right now it’s summer! When I’m wearing flip-flops to the grocery store and running the air conditioner in my car, it’s hard to remember the frigid days of January, and still harder to imagine a climate colder than Grand Rapids, Michigan in the dead of winter. But of course there are many places that are colder, more remote, and far more harsh—such as Siberia!

During the height of the Communist rule in the former Soviet Union, Pastor Ivan Minailo was exiled to prison in Siberia. His crime? He refused to betray Jesus and his five small congregations by becoming a stealth informant for the secret police. As he and 900 other “criminals” were marched to a remote prison camp, Ivan’s feet became mangled and swollen to the point where he almost needed to have them amputated, yet he willingly carried his cross through the snows of Siberia.

As Ivan demonstrated, our willingness to pay the price of a cross is the pivotal issue when it comes to our devotion to Christ. Jesus put this in cement when He said, “anyone who does not take his cross and follow me is not worthy of me” (Matthew 10:38). If we refuse to bear the cross we are given, then we can’t really call ourselves followers of Christ.

Since the stakes are so high, let me take a minute to clarify what it means to bear a cross for Christ. Cross-bearing is when I am willingly inclined to endure suffering that comes as a result of following Christ. Cross-bearing requires a willing heart. As it did for Ivan, our experience on earth will bring us to crossroads where we must choose: Christ or comfort, Jesus or ease, worship or wealth? Followers of Jesus make the hard choices because of who Jesus is—the Son of God, eternally worthy of our whole existence.

Sometimes I wonder why Jesus drew such a hard line in the sand when it came to cross-bearing. I mean, why couldn’t the Christian life be just a bit more of a cakewalk? And then I think it’s because He knew that living to please our Father in heaven would be a rough assignment in a world that is under the control of the arch enemy of God. During His ministry on earth, Jesus endured painful rejection, cruel and unfair criticism, marginalization, physical torture, and finally crucifixion—all to be faithful to His Father. Spiritually speaking, this world is a tough and sometimes hostile place to live.

Of course, cross-bearing does not exclude us from the grace of good times and the enjoyment of things He has provided for us. Thank God for the grace of seasons where our crosses are rather light. But cross-bearing does mean that, like Ivan and millions of others, when push comes to shove we choose the “Jesus way” even if it means loss and suffering.

Ivan Minailo suffered under the brutal elements of Siberia and the cruel taskmasters of the prison camp for 10 years before he was released. But regardless of the suffering, he sought to use the season of difficulty to lift Jesus up. As he worked in villages as a prisoner, he led people to Jesus, and today there are churches throughout Siberia that were established by the witness of prison laborers who exalted Jesus in the midst of their suffering.

I wonder—is Jesus worth everything and anything to you? What will you decide the next time you have to choose between carrying your cross and laying it down for a more comfortable existence? Authentic followers of Jesus are glad to pick up a cross to prove to our leader that He is more important than anything else in our lives!

--

Somebody Cares

“Let us then approach the throne of grace with confidence, so that we may receive mercy and find grace to help us in our time of need” Hebrews 4:16

When I was a little boy growing up in Hackensack, New Jersey, I would often fall asleep listening to my little radio. One of my favorite shows was “Big Joe’s Happiness Exchange,” beamed to my bedside from the heart of nearby New York City. The program always began with a deep, mellow voice saying, “Have no fear, Big Joe is here,” and then to the best of my memory he would sing something like . . .

Somebody cares about you and worries till the sun comes shining through!
Somebody cares if you sleep well at night
If your days go all wrong or if your day has gone right.


Then the song would conclude . . .


Please believe me it’s so,
but in case you didn’t know it,
Somebody cares.

Then people from all over the city would call in to talk to Big Joe. With an understanding and quieting spirit he would listen and encourage those who were hurting and lonely. If they had material needs, other people would call in to offer help. It was love, grace, and mercy in action. And there was something really comforting about it, even to my little soul as I fell asleep.

I’ve always been glad that Jesus offers us comfort and help like that.

Even more caring than Big Joe and much more capable to meet our needs, Jesus desires to be personally involved in our lives, to grant peace to our anxious souls, and to supply all our needs. Not limited to a one-hour call-in program, our God is “an ever-present help in trouble” (Psalm 46:1). And, when our troubles are so complex and overwhelming that we don’t even know what to ask for, we are assured that “the Spirit helps us in our weakness,” praying for us “with groans that words cannot express” (Romans 8:26). He promises that God will meet all of our needs “according to His glorious riches in Christ Jesus” (Philippians 4:19) and that He “is able to do immeasurably more than all we ask or imagine” (Ephesians 3:20)! And just when you think you are down for the count, He assures you that you are not destroyed (2 Corinthians 4:9) and that nothing can separate you from His love (Romans 8:31-39)!

Knowing that He is there “24/7” is great news!

I loved Big Joe as a kid. As an adult, I love Jesus even more! What comfort and strength to know that He is ready and waiting to supply mercy and grace in our time of need.

Have no fear—Jesus is here!

--

Your Faithful Friend?

“For great is your love, reaching to the heavens; your faithfulness reaches to the skies.” Psalm 57:10

Junior high school can be one long intensive seminar on drama in relationships. I am convinced that any psychological malfunction in my life today is directly traceable to those two years of school. Okay, maybe it’s not quite that dramatic, but junior high did teach me a little about fickle friendships.

I was minding my own business when one of Nancy’s friends came up to me and announced, “Hey, did you know that Nancy likes you?” To be honest, I had never given Nancy a second thought until that moment, but suddenly I was intrigued. My male ego was suddenly stirred and I liked the idea of being liked! So I passed my message back through the string of friends that had conveyed the message to me. That is, of course, how junior high romance works. I told my friend, who told another friend, who told Nancy’s friend, who then passed the message back to her.

“Joe says that he likes you too!”

But by the time my message got back to Nancy, she no longer liked me! For the first time I was singed by the fickle flames of romance.

A lot of our friendships are like that, aren’t they? We look back across the landscape of life and see different friends popping up here and there—our buddies from junior high, the girl we took to the prom in high school, the college roommates, the co-worker from the cubicle next to us. We realize quickly that many of those friendships, often consumingly important at the time, fade into dim memories leaving us thinking, “I wonder what happened to…”

Even more disconcerting is realizing how fickle we are in friendships. In honest moments, we could list the people we no longer get in touch with, or the phone calls we don’t return. In life, solid, faithful-to-the-core friendships are few and far between.

I wonder if you and I bring that same dynamic into our relationship with Jesus? When we first meet Jesus, He is everything to us! But as time wears on, we tend to drift away. When was the last time He heard from you? When was the last time you sat down to hear His voice and fellowship with Him? As the old saying goes: ”If God seems far away, guess who moved!” You may have gone on to other interests, but thankfully He hasn’t lost interest in you. He, more than anyone else, remains there waiting for you as your faithful friend!

The psalmist often sings of God’s undying love for us. And I need to tell you that it’s not the kind of love that rides on emotions or favors. It is an expression of God’s enduring, rock-solid commitment to you as His beloved, and it is often linked, as it is here in Psalm 57:10, with His unfailing faithfulness. In fact, the psalmist literally cannot get his mind around the extensiveness of God’s love and faithfulness, conceding finally that God’s love “reaches to the heavens” and His faithfulness “reaches to the skies.” In other words, it is without limit and without end.

So when you receive word that God loves you, please know that it is not a junior high school fickle, fleeting kind of love. It is a life-changing, eternally satisfying offer of a fulfilling friendship with your Creator. Today He stands knocking at your door wanting to come in and spend some quality time with you (Revelation 3:20). Go ahead, open the door of your heart—it’s your faithful friend!

--

Sukses si buta warna

John Dalton adalah seorang ilmuwan Inggris yang menemukan berat atom. Ia dilahirkan tahun 1766 di desa Eaglesfield di Inggris Utara. Latar belakang pendidikannya tidaklah membanggakan, bahkan bisa dibilang mengecewakan karena pendidikan formalnya berakhir tatkala umurnya baru 7 tahun. Selanjutnya hampir sepenuhnya dia belajar sendiri. Apa yang membuat dia bisa berhasil? Ternyata John Dalton menderita sejenis penyakit buta warna. Keadaannya yang seperti itu tidak menjadikannya patah semangat. Justru keadaan itulah membuat dia bertambah semangat untuk mempelajari hal-hal yang menjadi rasa ingin tahunya. Dia berusaha mempelajari masalah buta warna dan dia terbitkan kertas kerja ilmiah tentang buta warna, suatu topik yang pertama kali ditulis orang. Semangat ini pula yang menjadikannya berhasil merumuskan teori atom dan menyiapkan daftar berat atom pada tahun 1804. Buku utamanya yang berjudul "A New System of Chemical Philosophy", baru terbit pada tahun 1804. Buku inilah yang membuat namanya masyur. John Dalton menjadi guru pribadi hampir sepanjang hidupnya. Sejarah mencatat dengan tinta emas, " John Dalton, seorang yang menderita penyakit buta warna adalah penemu berat atom".

Apa yang membuat John Dalton sukses dalam hidupnya? Dia tidak melihat kekurangan yang ia miliki sebagai benteng yang menghalangi jalan hidupnya. Dia melihat kekurangan itu sebagai batu loncatan yang akan membawanya ketingkat yang lebih tinggi. perhatikan juga kehidupan Paulus. Secara fisik banyak kelemahan, bahkan "duri dalam dagingnya" tidak pernah sembuh. Tetapi, dia adalah orang sukses. Dia dipakai Tuhan untuk menuliskan firmanNya dan mendirikan banyak gereja. Mengapa Paulus berhasil Salah satu kuncinya adalah karena dia tidak terhalang oleh kelemahannya. Bahkan dia bangga terhadap kelemahannya, seperti ditulis dalam 2 Korintus 11:30, "Jika aku harus bermegah, maka aku akan bermegah atas kelemahanku." Paulus tahu bahwa di dalam kelemahan ia menjadi kuat oleh karena Tuhan. Itulah sebabnya ia bersyukur kepada Tuhan sebagai sumber kekuatan. Ini pula yang dilakukan Daud sebagai orang lemah saat menghadapi tantangan yang besar.

Seringkali yang membuat kita gagal aalah karena kita melihat kekurangan kita sebagai penghalang utama. Seakan-akan kekurangan itu adalah beban yang menghalangi lagkah kita untuk meju. Itu pikiran yang keliru. Kita harus sadar bahwa setiap orang punya kekurangan, tetapi bedanya antara yang satu dengan yang lain adalah penanganan terhadap kekurangan orang itu. Orang yang menghadapi kekurangannya dengan pesimis, akan gagal dalam hidupnya. Tetapi, orang yang menghadapi kekurangannya dengan optimis, akan lebih banyak membawa hasil. Oleh sebab itu marilah kita menerima segala kekurangan kita dan menjadikan pemacu semangat juang kita dalam hidup ini dan nantikanlah saat-saat keberhasilan itu! ...

--
Hingga Tetes Terakhir

Pasar malam dibuka di sebuah kota. Penduduk menyambutnya dengan gembira. Berbagai macam permainan, stand makanan dan pertunjukan diadakan. Salah satu yang paling istimewa adalah atraksi manusia kuat. Begitu banyak orang setiap malam menyaksikan unjuk kekuatan otot manusia kuat ini. Manusia kuat ini mampu melengkungkan baja tebal hanya dengan tangan telanjang. Tinjunya dapat menghancurkan batu bata tebal hingga berkeping-keping. Ia mengalahkan semua pria di kota itu dalam lomba panco. Namun setiap kali menutup pertunjukkannya ia hanya memeras sebuah jeruk dengan genggamannya. Ia memeras jeruk tersebut hingga ke tetes terakhir. ' Hingga tetes terakhir', pikirnya.

Manusia kuat lalu menantang para penonton : "Hadiah yang besar kami sediakan kepada barangsiapa yang bisa memeras hingga keluar satu tetes saja air jeruk dari buah jeruk ini!"

Kemudian naiklah seorang lelaki, seorang yang atletis, keatas panggung. Tangannya kekar. Ia memeras dan memeras... dan menekan sisa jeruk... tapi tak setetespun air jeruk keluar. Sepertinya seluruh isi jeruk itu sudah terperas habis. Ia gagal. Beberapa pria kuat lainnya turut mencoba, tapi tak ada yang berhasil.

Manusia kuat itu tersenyum-senyum sambil berkata : "Aku berikan satu kesempatan terakhir, siapa yang mau mencoba?"

Seorang wanita kurus setengah baya mengacungkan tangan dan meminta agar ia boleh mencoba. "Tentu saja boleh nyonya. Mari naik ke panggung. "Walau dibayangi kegelian di hatinya, manusia kuat itu membimbing wanita itu naik keatas panggung. Beberapa orang tergelak-gelak mengolok-olok wanita itu. Pria kuat lainnya saja gagal meneteskan setetes air dari potongan jeruk itu apalagi ibu kurus tua itu. Itulah yang ada di pikiran penonton. Wanita itu lalu mengambil jeruk dan menggenggamnya. Semakin banyak penonton yang menertawakannya. Ia memegang sebelah pinggirnya, mengarahkan amas jeruk ke arah tengah, demikian terus ia ulangi dengan sisi jeruk yang lain. Ia terus menekan serta memijit jeruk itu, hingga akhirnya memeras... dan "ting!" setetes air jeruk muncul terperas dan jatuh diatas meja panggung. Penonton terdiam terperangah. Lalu cemoohan segera berubah menjadi tepuk tangan riuh.

"Nyonya, aku sudah melakukan pertunjukkan semacam ini ratusan kali. Dan, banyak orang pernah mencobanya agar bisa membawa pulang hadiah uang yang aku tawarkan, tapi mereka semua gagal. Hanya Anda satu-satunya yang berhasil memenangkan hadiah itu. Boleh aku tahu, bagaimana Anda bisa melakukan hal itu?"

"Begini," jawab wanita itu, "Aku adalah seorang janda yang ditinggal mati suamiku. Aku harus bekerja keras untuk mencari nafkah bagi hidup kelima anakku. Jika kau memiliki tanggungan beban seperti itu, kau akan mengetahui bahwa selalu ada tetesan air walau itu di padang gurun sekalipun. Kau juga akan mengetahui jalan untuk menemukan tetesan itu. Jika hanya memeras setetes air jeruk dari ampas yang kau buat, bukanlah hal yang sulit bagiku".

Selalu ada tetes setelah tetesan terakhir. Aku telah ratusan kali mengalami jalan buntu untuk semua masalah serta kebutuhan yang keluargaku perlukan. Namun hingga saat ini aku selalu menerima tetes berkat untuk hidup keluargaku. Aku percaya Tuhanku hidup dan aku percaya tetesan berkatNya tidak pernah kering, walau mata jasmaniku melihat semuanya telah kering. Aku punya alasan untuk menerima jalan keluar dari masalahku. Saat aku mencari, aku menerimanya karena ada Pribadi yang mengasihiku.

"Bila anda memiliki alasan yang cukup kuat, Anda akan menemukan jalannya", demikian kata seorang bijak. Seringkali kita tak kuat melakukan sesuatu karena tak memiliki alasan yang cukup kuat untuk menerima hal tersebut. (Bits&Pieces, The Economics Press).

"Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan. Adakah seorang dari padamu yang memberi batu kepada anaknya, jika ia meminta roti, atau memberi ular, jika ia meminta ikan? Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang disorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya." (Matius 7:7-11)

--

Supremely Significant

“Your attitude should be the same as that of Christ Jesus” Philippians 2:5

Modern counseling and psychology focus a lot of attention on obsessive behaviors—whether it’s an obsession with food, tobacco, alcohol, pornography, drugs, or even work. But perhaps one of the most overlooked addictions is our obsession with personal significance. Think about the amount of time and energy you spend in maintaining, advancing, expanding, and protecting your sense of significance. You know, making yourself look good, staying on top of the heap, protecting your ego, and living to be more successful than the next guy.

And while it seems like everyone is signed up for this rat race, we need to face up to the reality that the search for significance is a treacherous pursuit personally.

Count the costs. Significance is often gained at the expense of our character as we are willing to lie and cut ethical corners to be viewed well by others. It makes us defensive when someone seeks to improve us through criticism. The pursuit embitters our hearts against God over disappointing and unchangeable personal issues like our size, shape, or color. Pursuing our own significance makes us vulnerable to a host of verbal sins, such as gossip, slander, boasting, lying, and immoral chatter. It’s why we are quick to violate basic principles of stewardship by burdening ourselves with debt in order to accumulate things that supposedly enhance our significance socially and materially. The warning label on being obsessed with your own significance is long and serious.

And, I need to add, being driven to protect and advance our sense of significance renders us unable to serve others unless there is an advantage to be gained; unable to sacrifice for a cause that is not our own and unwilling to suffer for that cause if necessary; unable to surrender to any agenda that impedes the progress of our personal persona. In short, it cripples our ability to love God more than ourselves and to live to bring glory to God since, when we are compelled to glorify ourselves, we are unable to exalt His worthy significance.

So let’s see what we can do about this. At the start of his letter to the Colossians, Paul notes that Jesus is the only truly significant Person: “He is the image of the invisible God, the firstborn over all creation. . . . All things were created by him and for him. He is before all things, and in him all things hold together. . . . He is the beginning and the firstborn from among the dead, so that in everything he might have the supremacy” (Colossians 1:15-18). Yet, as Paul wrote to the Philippians, Jesus did not live to hold on to these things but rather poured himself out for our benefit by humbling himself in obedience to His Father (Philippians 2:6-7).

Don’t miss the point! Jesus—who had every right to celebrate and advance His own significance—chose to serve, surrender, suffer, and sacrifice in order to bring glory to His Father and to rescue us from the grip of hell. And if you have accepted this gift of surrender on His part, you are now a child of God. You already are significant! God is your Father. Significance is no longer a search but a secured reality. And once you are significant in Him, you are free to refocus your obsession to living to glorify His significance and not your own.

So, let the attitude of Christ be in you. It’s a significant pursuit worthy of your obsession!

--

The Lonely Hearts Club


“And surely I am with you always, to the very end of the age.” Matthew 28:20

Three men were stranded on a desert island. A genie appeared and promised to grant each of them just one wish. So the first guy says, “I want to go back to my job with the brokerage firm.” Shazam, he’s back in the office behind his desk. The second guy says, “I’d like to be back in Chicago with my family.” Instantly, he’s zapped back to the Midwest. So the genie turns to the last guy and says, “What’ll it be for you?” He looks around and says, “It’s so lonely here. I wish my friends were back.”

Actually, the pain of loneliness is no laughing matter. And, sad to say, there is no magic-genie cure for the loneliness so many of us struggle with. After God created Adam, He said that it is not good for man to be alone and created Eve for companionship and mutual encouragement. So, it’s no wonder that we hurt when we are disconnected from others who could be a source of satisfaction and joy.

Yet, in one sense, even the loneliest among us is not truly alone. In fact, Jesus not only assures us of His presence but can empathize with the agony of our loneliness. He was brutally cast off by His own people, the object of criticism and scorn, abandoned by His best friends in His hour of need, and betrayed by a trusted colleague. Still, in the midst of this loneliness He was not truly alone. John 8:29 records Christ’s strong confidence in the midst of His standing alone when He says, “The one who sent Me is with Me; He has not left Me alone.” And even though He realized His teaching was rejected by men, He said, “If I do judge, my decisions are right, because I am not alone. I stand with the Father, who sent Me” (v.16).

The only true loneliness is the aloneness of being disconnected from God. When we live disconnected from Him, we scramble to fill the void with food, sex, alcohol, shopping, drugs, or meaningless activity. Many of us will do anything to medicate the emptiness we feel without God. In its advanced stages, this aloneness from God fogs our outlook with a cloud of cynicism until our only response to life is “Who cares?” or “Whatever.”

The only real way out is to cling to Jesus, the one who will never leave or forsake you (Hebrews 13:5) and the one who promises to give you life, in fact life more abundantly (John 10:10).

Maybe you know this, but you’ve been afraid to put all your eggs in the basket of all Jesus has to offer. Maybe your fear is reflected in the words of the poet who wrote, “lest having Him I would have nothing else beside.”

But let me assure you that Christ will never let you down. Jesus is certainly no magic genie. He does not exist in a foggy vision only to vanish in a puff of smoke. In fact, it’s just the opposite—we have the assurance that He is constantly with us. Jesus said, in Matthew 28:20, “I am with you always, to the very end of the age.”

Because of this promise, you can trust that God will never leave you stranded alone on the desert island of life without Him, but will satisfy you with His presence and peace.

--

Foundation of the Heart

The great cathedrals of Europe are not only breathtaking but intriguing in their architecture. Because their massive ceilings were too heavy for the walls to support, flying buttresses, or external extensions, were built to support the expansive roofs.

Although we are “the temple of the living God” (2 Cor. 6:16), I wonder if we are not more like these cathedrals, with buttresses of external influences holding us up while we remain weak at the core. Pastors, friends, rules, books, and small groups are helpful to support and bolster our faith. But if we depend too heavily on them, they can actually distract us from developing a healthy heart for God.

Our heart is the place where God meets and relates to us personally. It’s where He allows us to respond to His correction. Spending time in His Word and in prayer opens the door for Him to interact with us at the deepest levels of our need and gives Him opportunities to comfort and convict. As we open our hearts to Him, He fans the flame of an intimate, life-changing relationship.

Authentic Christianity is the inside-out expression of this dynamic relationship with Jesus that provides the strength to live for His glory—regardless of what is happening on the outside! — Joe Stowell

Speak, O blessed Master,
In this quiet hour;
Let me see Thy face, Lord,
Feel Thy touch of power. —Grimes


When you open your heart to the Savior, He opens your mind to His Word.

--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan beri komentar